26 April 2017

MODUL 2 PRAKONDISI DI PLPG KOMPETENSI PEDAGOGIK

TEORI BELAJAR

Dikutip dari sumber www.sertifikasiguru.id, pada program prakondisi pada PLPG 2017  Peserta PLPG 2017 wajib mempelajari Modul Pedagogik dan Modul Pendalaman Materi Bidang Studi secara mandiri dan dapat diunduh melalui laman sertifikasiguru.id

Sebagai persiapan pendalaman modul pedagogik di prakondisi PLPG 2017 kami sajikan RINGKASAN MATERI KELOMPOK KOMPETENSI PEDAGOGIK 2: TEORI BELAJAR

Ringkasan Materi ini dikembangkan berdasarkan kompetensi pedagogik yang kedua di Permendiknas nomor 16 tahun 2007 yaitu: Menguasai Teori Belajar dan Prinsip-Prinsip Pembelajaran yang Mendidik

RINGKASAN MATERI KELOMPOK KOMPETENSI PEDAGOGIK 2.

I. TEORI BELAJAR
A.  Teori Belajar Behaviorisme
     Teori belajar tingkah laku (behaviorisme) memandang belajar sebagai hasil dari pembentukan hubungan antara rangsangan dari luar (stimulus) seperti ‘2 + 2’ dan balasan dari siswa (response) seperti ‘4’ yang dapat diamati. Semakin sering hubungan (bond) antara rangsangan dan balasan terjadi, maka akan semakin kuatlah hubungan keduanya (law of exercise). Para penganut teori belajar tingkah laku ini berpendapat bahwa batu saja akan berlubang jika ditetesi air terus menerus. Thorndike menyatakan kuat tidaknya hubungan ditentukan oleh kepuasan maupun ketidakpuasan yang menyertainya (law of effect). Itulah sebabnya, dua kata kunci menurut para penganutnya selama proses pembelajaran adalah ‘latihan’ dan ‘ganjaran/ penguatan’. Teori ini menitikberatkan pada perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengulangan. Ganjaran atau penguatan pada binatang ditunjukkan dengan pemberian sesuatu jika ia dapat menyelesaikan tugasnya, sehingga binatang tersebut akan mengulangi kegiatannya. Para siswa akan sangat senang dan merasa dihargai jika mereka mendapat hadiah ketika mereka dapat melaksanakan tugas dengan baik, sehingga mereka akan berusaha untuk melakukan hal yang sama. Namun jika mereka melakukan hal yang salah maka mereka harus mendapat hukuman agar ia tidak melakukan hal itu lagi. Teori belajar tingkah laku ini menekankan adanya ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement). Semakin banyak ganjaran yang diberikan maka respon yang diharapkan dari siswa akan lebih baik. Selain itu, jika respon siswa di luar yang diinginkan maka diperlukan adanya konsekuensi hukuman (punishment) sebagai stimulus agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada atau, dengan kata lain, agar perilaku siswa sesuai yang diinginkan. Khusus untuk punishment ini, beberapa tokoh teori tingkah laku, misalnya Skinner, memiliki perbedaan pendapat, khususnya karena dampak yang kurang baik. Skinner memberikan alternatif yaitu digunakannya penguatan negatif (negative reinforcement). Pada masa kini, teori belajar yang dikemukakan penganut psikologi tingkah laku ini cocok digunakan untuk mengembangkan kemampuan siswa yang berhubungan dengan pencapaian hasil belajar (pengetahuan) matematika seperti fakta, konsep, prinsip, dan skill (keterampilan).
B. Teori Belajar Kognitif
1. Psikologi Perkembangan Kognitif Piaget
    Menurut Piaget, struktur kognitif atau skemata (schema) adalah suatu organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada saat orang itu berinterkasi dengan lingkungannya. Dua proses yang sangat penting adalah asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah suatu proses di mana suatu informasi atau pengalaman baru dapat disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa; sedangkan akomodasi adalah suatu proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan pengalaman yang baru dialami. Sejalan dengan itu, Ausubel menginginkan proses pembelajaran di kelas-kelas adalah suatu pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) yaitu suatu pembelajaran di mana pengetahuan atau pengalaman yang baru dapat terkait dengan pengetahuan lama yang sudah ada di dalam struktur kognitif seseorang. Untuk membantu terjadinya pembelajaran bermakna, Bruner menyarankan agar proses pembelajaran melalui tiga tahap, yaitu tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik.
     Empat tahap perkembangan kognitif siswa menurut Piaget adalah (1) tahap sensori motor (0–2 tahun), (2) tahap pra-operasional (2–7 tahun), (3) tahap operasional konkret (7–11 tahun), dan (4) tahap operasional formal (11 tahun ke atas). 
     Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk menggunakan dan mengatur kegiatan fsik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat indera mereka. Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten. Pada tahap operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersamasama (misalnya, antara bentuk dan ukuran). Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan kognitif.
2. Belajar Bermakna David P. Ausubel
    Teori belajar Ausubel menitikberatkan pada bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat 2 jenis belajar yaitu belajar hafalan (rote-learning) dan belajar bermakna (meaningfullearning). Jika seorang siswa berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan (rote) dan tidak akan bermakna (meaningless) sama sekali baginya. Pembelajaran yang mengacu pada ‘belajar bermakna’ atau ‘meaningful-learning’ adalah pembelajaran di mana pengetahuan atau pengalaman baru yang akan dipelajari siswa dapat terkait dengan pengetahuan lama yang sudah dimiliki siswa.
3. Teori Presentasi Bruner
     Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif, para siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan dengan menggunakan sesuatu yang “konkret” atau “nyata” yang berarti dapat diamati dengan menggunakan panca indera. Contohnya, ketika akan membahas geometri ruang di awal pembelajaran, guru dapat menggunakan alat peraga maupun barang sehari-hari semisal kaleng, dus, dll. Pada tahap ikonik, yakni setelah mempelajari pengetahuan dengan benda nyata atau benda konkret, tahap berikutnya adalah tahap ikonik, dimana para siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagai perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkret atau nyata tadi. Pada tahap simbolik para siswa harus melewati suatu tahap dimana pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, siswa harus mengalami proses berabstraksi. Berabstraksi terjadi pada saat seseorang menyadari adanya kesamaan di atara perbedaan-perbedaan yang ada.

C. Teori Belajar Konstruktivisme
1. Model Penemuan
     Bruner berpendapat bahwa belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan (learning by discovery is learning to discover). Ada dua model penemunaan, yaitu model penemuan murni dan model penemuan terbimbing. Model penemuan yang dapat dikembangkan di kelas adalah model penemuan terbimbing di mana para siswa dihadapkan dengan situasi di mana ia bebas untuk mengumpulkan data, membuat dugaan (hipotesis), mencoba-coba (trial and error), mencari dan menemukan keteraturan (pola), menggeneralisasi atau menyusun rumus beserta bentuk umum, membuktikan benar tidaknya dugaannya itu. Berbeda dengan model penemuan murni di mana mulai dari pemilihan strategi sampai pada jalan dan hasil penemuan ditentukan para siswa sendiri maka pada penemuan terbimbing ini, para guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu dan memberi kemudahan bagi para siswanya sedemikian rupa sehingga mereka dapat mempergunakan idea, konsep dan ketrampilan yang sudah dia pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Penggunaan serangkaian pertanyaan yang tepat akan sangat membantu siswa untuk menemukan pengetahuan yang baru berdasar pada pengetahuan lama yang dipunyainya.

2. Model Saintifk
    Pendekatan saintifk meliputi lima pengalaman belajar sebagaimana dijelaskan berikut ini.
a.    Mengamati (observing) di mana siswa difasilitasi untuk mengamati dengan indra (membaca, mendengar, menyimak, melihat, menonton, dan sebagainya) dengan atau tanpa alat.
b.    Menanya (questioning) di mana siswa difasilitasi untuk membuat dan mengajukan pertanyaan, tanya jawab, berdiskusi tentang informasi yang belum dipahami, informasi tambahan yang ingin diketahui, atau sebagai klarifkasi.
c. Mengumpulkan informasi/mencoba (experimenting) di mana siswa difasilitasi untuk mengeksplorasi, mencoba, berdiskusi, mendemonstrasikan, meniru bentuk/gerak, melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengumpulkan data dari nara sumber melalui angket, wawancara, dan memodifkasi/ menambahi/ mengembangkan.
d. Menalar/mengasosiasi (associating) di mana siswa difasilitasi untuk mengolah informasi yang sudah dikumpulkan, menganalisis data dalam bentuk membuat kategori, mengasosiasi atau menghubungkan fenomena/informasi yang terkait dalam rangka menemukan suatu pola, dan menyimpulkan.
e. Mengomunikasikan (communicating) di mana siswa difasilitasi untuk menyajikan laporan dalam bentuk bagan, diagram, atau grafk; menyusun laporan tertulis; dan menyajikan laporan meliputi proses, hasil, dan kesimpulan secara lisan.

II. PRINSIP-PRINSIP BELAJAR
   Dalam perencanaan pembelajaran, prinsip-prinsip belajar dapat mengungkap batas-batas kemungkinan dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran, pengetahuan tentang teori dan prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru dalam memilih tindakan yang tepat.
     Dari berbagai prinsip belajar tersebut terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum yang dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya pembelajaran sebagai berikut.
A.    Perhatian dan Motivasi
     Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar (Gage dan Berliner, 1984: 355). Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting
      dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi dapat dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil (Gage dan Berliner, 1984: 372).
B.     Keaktifan
      Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri.
C.     Keterlibatan langsung/Berpengalaman
      Belajar adalah mengalami, belajar tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa yang tidak hanya mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.
D.  Pengulangan
    Pada teori Psikologi Asosiasi atau Koneksionisme mengungkapkan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons benar. Pengulangan dalam belajar akan melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, hingga berpikir yang akan membuat daya-daya tersebut berkembang.
E.   Tantangan
      Dalam situasi belajar, siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai. Namun selalu terdapat hambatan, yaitu mempelajari bahan belajar. Timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu, yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut.
F.   Balikan atau Penguatan
      Siswa belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai yang baik dalam ulangan. Nilai yang baik itu mendorong anak untuk belajar lebih giat lagi. Nilai yang baik dapat merupakan operant conditioning atau penguatan positif. Sebaliknya, anak yang mendapatkan nilai yang jelek pada waktu ulangan akan merasa takut tidak naik kelas, karena takut tidak naik kelas ia terdorong untuk belajar lebih giat. Inilah yang disebut penguatan negatif.
G.  Perbedaan Individual
      Siswa yang merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan individu ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa.

Sumber Pustaka:
Wibowo, Hari dkk. 2016. Teori Belajar. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan

POSTINGAN TERKAIT
PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKONDISI DI SINI
TIPS SUKSES PRAKONDISI BACA DI SINI
MODUL 3 BACA DI SINI




2 comments: