29 April 2017

MODUL IV PERSIAPAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA


Sesuai dengan pedoman pelaksanaan PLPG 2017 yang bersumber pada www.sertifikasiguru.id. Perserta PLPG 2017 akan melaksanakan model Prakondisi di PLPG 2017. Salah satu ketentuan pada Prakondisi di PLPG 2017 adalah setiap peserta wajib mempelajari Modul Pedagogik dan Modul Pendalaman Materi Bidang Studi secara mandiri dan dapat diunduh melalui laman sertifikasiguru.id
BACA MATERI LENGKAP PPG-PLPG TAHUN 2017

(PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 BISA DIUNDUH DI SINI)

Sebagai persiapan pendalaman modul Materi Bidang Studi Bahasa Indonesia di prakondisi PLPG 2017 kami sajikan Modul 4 Pendalaman Bidang Studi Bahasa Indonesia. Modul ini merupakan modul pada PLPG 2016. Pada modul 4 ini dibahas Kaidah Bahasa Indonesia.

(MODUL LENGKAP I-V BAHASA INDONESIA BACA DI SINI)


KAIDAH BAHASA INDONESIA

Drs. Azhar Umar, M.Pd








KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016















BAB IV
KAIDAH BAHASA INDONESIA

A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan dapat memahami
dan mengaplikasikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia sebagai rujukan penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Guru Mata
Pelajaran
Indikator Pencapaian Kompetensi
1.4 Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar.
1. Mengaplikasikan kaidah ejaan
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
2. Mengaplikasikan kaidah morfologi
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar
(menulis)
3. Mengaplikasikan kaidah sintaksis
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar
(berbicara).
4. Mengaplikasikan kaidah semantik
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar
(berbicara)...
5. Mengaplikasikan kaidah pragmatik
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar
(berbicara).

C. Uraian Materi
1. Kaidah Ejaan
Kaidah ejaan adalah keseluruhan peraturan tentang bagaimana menggunakan lambang-lambang bunyi bahasa dan bagaimana hubungan antara lambang-lambang tersebut (pemisahan dan enggabungannya). Secara teknis, kaidah ejaan dan tanda baca adalah aturan-aturan mengenai penulisan huruf, penulisan kata, dan penulisan tanda baca. Seperti diketahui bahwa kaidah ejaan mengatur penggunaan beragam
lambang kebahasaan yang berdimensi luas. Pembahasan menyeluruh mengenai kaidah ejaan tersebut tidak mungkin dilakukan pada bagian ini. Pembahasan dibatasi pada kaidah-kaidah ejaan yang sangat produktif penggunaannya di dalam masyarakat.
1.1 Penulisan Huruf
Pada bagian ini akan dideskripsikan kaidah-kaidah yang berlaku mengenai pemakaian huruf dalam bahasa Indonesia, yakni pemakaian huruf kapital dan huruf miring.
1.1.1 Huruf Kapital
Istilah huruf kapital sering juga diganti dengan huruf besar. Huruf ini dipakai sebagai huruf pertama:
(a) kata pada awal kalimat
(b) petikan langsung (yang utuh)
(c) dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan,
(d) nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang (Mahaputera Yamin, Sultan Hasanuddin, Haji Amir)
(e) nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang (Wakil Presiden Yusuf Kalla, Jenderal Tito Karnavian)
(f) nama orang
(g) nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa
(h) nama tahun, bulan, hari raya, dan peristiwa sejarah
(i) nama khas dalam geografi
(j) nama badan resmi, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi
(k) nama semua kata dalam judul buku, majalah, surat kabar, kecuali kata partikel, seperti di, ke, dari, untuk, yang, dan yang tidak terletak pada posisi awal
(l) singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan
(m)kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu, adik, paman yang dIpakai sebagai kata ganti sapaan
1.1.2 Huruf Miring
Huruf miring adalah huruf yang posisinya dimiringkan dalam cetakan.
Huruf miring dipakai untuk:
(a) menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan;
Contoh: Dia mendengar berita itu dari Kompas.
(b) menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata atau kelompok kata;
Contoh: Seluruh karyawan diwajibkan menghadiri acara tersebut.
(c) menuliskan kata atau ungkapan asing, kata nama ilmiah, kecuali yang telah disesuaikan ejaannya.
Contoh: Hari-harinya padat dengan facebook.
1.2 Penulisan Kata
Kaidah penulisan kata meliputi kaidah penggabungan kata, penulisan kata ganti kau, ku, mu, dan nya, kata depan di, ke dan dari, kata turunan, serta singkatan dan akronim.
1.2.1 Gabungan Kata
Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang dapat menimbulkan kesalahan pengertian bisa diberi tanda hubung untuk menegaskan pertaliannya.
Contoh: alat pandang-dengar
Buku sejarah-lama
(sebagai imbangan buku sejarah moderen).
1.2.2 Kata ganti ku, kau, mu, dan nya
Kata ganti ku, kau, mu, dan nya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
(1) a. Ketidakjujuran tidak kusukai.
b. Ketidakjujuran tidak aku sukai.
(2) a. Lawan harus kaukalahkan dengan cara yang sportif.
b. Lawan harus engkau kalahkan dengan cara yang sportif.
(3) a. Aku tahu, buku itu milikmu.
b. Aku tahu, buku itu milik kamu.
1.2.3 Kata Turunan
Jika bentuk dasar berupa gabungan kata dan sekaligus mendapat awalan dan akhiran, kata-kata itu ditulis serangkai.
Contoh: (1) tidak adil + ke-an ....................... ketidakadilan
Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘tiap’, dan ‘demi’ ditulis terpisah
Contoh: (1) a. Mereka masuk satu per satu.
b. Mereka masuk satu persatu (x)
(2) a. Harganya Rp 3.000,00 per helai.
b. Harganya Rp 3.000,00 perhelai (x).
(3) Gaji naik per 1 April.
1.2.4 Singkatan dan Akronim
Singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik (.).
Contoh: M. Amin, Drs., Prof., Kol.
Singkatan yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik (.).
Contoh: MPR
Singkatan umum terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti tanda titik.
Contoh: dst., dsb., dkk., dto.
Akronim adalah singkatan yang terdiri atas gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf dan suku kata yang diperlakukan sebagai kata, seperti:
Contoh: ABRI, PASI, SIM
Akabri, Bappenas
Akronim yang bukan nama diri/lembaga ditulis sebagai berikut:
pemilu, rapim, tilang
2. Kaidah Morfologi (Pembentukan Kata)
2.1 Kaidah Kata Imbuhan
Kata berimbuhan adalah kata yang telah mengalami proses pengimbuhan (afiksasi). Imbuhan atau afiks adalah satuan bahasa yang digunakan dalam bentuk dasar untuk menghasilkan suatu kata. Hasil dari proses pengimbuhan itulah yang kemudian membentuk kata baru yang disebut kata berimbuhan.
Imbuhan dalam bahasa Indonesia jumlahnya bermacam-macam.
Secara garis besar imbuhan tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yakni prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Prefiks atau awalan adalah imbuhan yang diikatkan di depan bentuk dasar.
Contoh:
me(N)- → membaca, menulis, menyapa
ber- → berjalan, berbicara, bermalam
di- → dibaca, ditulis, disapa
ter- → terbawa, termakan, terindak
pe(N)- → penjual, pembeli, penulis
per- → peranak, peristri
se- → sekelas, setara, secangkir
ke- → kepada, kekasih, kedua
maha- → mahakuasa, mahaagung, mahakuasa
Infiks atau sisipan adalah imbuhan yang diikatkan di tengah bentuk dasar.
Contoh:
-el-, → geletar, telunjuk
-em- → gemetar
-er- → gemertak, seruling, gerigi
Sufiks atau akhiran adalah imbuhan yang diikatkan di belakang bentuk
dasar.
Contoh:
-kan → tanamkan, bacakan, lembarkan
-an → tulisan, bacan, lemparan
-i → akhiri, jajaki, tulisi
-nya → agaknya, rupanya
-wan → rupawan, hartawan, ilmuwan
Konfiks adalah imbuhan yang dilekatkan di depan-belakang bentuk dasar secara bersamaan.
Contoh:
ke-an → keamanan, kesatuan, kebetulan
pe(N)-an → penanaman, pemahaman, penyesuaian
per-an → perusahaan, persawahan, pertokoan
ber-an → berhamburan, bersamaan, bersalaman
se-nya → selama-lamanya, sejauh-jauhnya
2.2 Kaidah Kata Ulang
Kata ulang (reduplikasi) adalah kata yang mengalami proses perulangan, baik sebagian atau pun seluruhnya dengan disertai perubahan bunyi atau pun tidak. Kata ulang memiliki beberapa makna, di antaranya, adalah makna ‘banyak taktentu’, seperti contoh berikut.
batu-batu negara-negara
buku-buku orang-orang
kuda-kuda pohon-pohon
makanan-makanan peraturan-peraturan
menteri-menteri rumah-rumah
Ada juga kata ulang yang bermakna ‘banyak dan bermacam-macam’,
seperti contoh berikut:
bau-bauan, dedaunan
bibit-bibitan, lauk-pauk
buah-buahan, pepohonan
bumbu-bumbuan, sayur-mayur
bunyi-bunyian, tanam-tanaman
Makna kata ulang lainnya adalah ‘menyerupai dan bermacammacam’, seperti contoh berikut ini:
kuda-kuda mobil-mobilan
kuda-kudaan orang-orangan
kucing-kucingan robot-robotan
langit-langit rumah-rumahan
mata-mata siku-siku.
Makna kata ulang berikutnya adalah ‘agak atau melemahkan sesuatu’ yang disebut pada kata dasar
Contoh:
kebarat-baratan , malu-malu
kehijau-hijauan, pening-pening
keinggris-inggrisan, sakit-sakitan
kekanak-kanakan, tidur-tiduran
kekuning-kuningan
Kata ulang bisa pula bermakna Intensitas kualitatif’, seperti terlihat pada contoh berikut ini:
keras-keras, segiat-giatnya
kuat-kuat, setinggi-tingginya
Di samping itu, kata ulang dapat bermakna ‘intensitas kuantitatif’, seperti contoh berikut:
bercakap-cakap, manggut-manggut
berlari-lari, mengangguk-angguk
berputar-putar, mondar-mandir
bolak-balik, tersenyum-senyum
menggeleng-gelengkan, tertawa-tawa
Kata-kata ulang di dalam contoh berikut ini memperlihatkan makna ‘kolektif’
dua-dua, kedua-duanya
empat-empat, ketiga-tiganya
Terakhir, kata ulang dapat bermakna ‘saling’, seperti yang tampak pada contoh-contoh di bawah ini.
berpandang-pandangan, pukul-pukulan
bersalam-salaman tendang-menendang
lempar-lemparan, tolong-menolong
2.3 Kaidah Kata Majemuk
Kata majemuk sering didefinisikan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang membentuk makna baru. Dalam definisi seperti ini, konstruksi kata majemuk tidak dapat dibedekan dari konstruksi idiom. Padahal, konstruksi yang benar-benar menimbulkan makna baru adalah idiom. Perhatikanlah dengan cermat beberapa konstruksi di bawah ini.
(1) rumah makan, matahari,
(2) kambing hitam.
Makna semua konstruksi yang terdapat pada (1) masih berhubungan dengan salah satu makna unsur yang membangunnya. Makna konstruksi rumah makan, misalnya, masih berhubungan dengan makna rumah. Begitu juga dengan makna konstruksi matahari masih berhubungan dengan hari. Artinya, gabungan kata itu tidak menimbulkan makna baru sama sekali. Konstruksi seperti inilah yang lazim dan dapat disebut sebagai kata majemnuk.
Tidak demikian halnya dengan makna konstruksi kambing hitam.
Makna konstruksi itu tidak berhubungan sama sekali dengan kambing maupun hitam. Dengan kata lain, gabungan kata kambing dan hitam sungguh-sungguh menimbulkan makna baru. Konstruksi seperti ini lazim disebut sebagai idiom.
Kata majemuk dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan jenis kata utama yang membentuk konstruksinya. Dengan begitu, dikenallah kata-kata mejemuk jenis kata kerja, kata sifat, dan kata benda.. Kata majemuk jenis kata kerja dapat dilihat pada contoh-contoh berikut:
adu domba, membanting stir
adu argument, memikat hati
berbadan dua, memberi hati
maju mundur, mengambil hati
Kata majemuk jenis kata benda dapat dilihat di dalam contohcontoh berikut ini:
air terjun, darah daging
anak emas, harga diri
anak didik, jalan damai
Contoh-contoh di bawah ini termasuk kata majemuk jenis kata sifat.
besar kepala, lanjut usia
darah tinggi, lemah lembut
keras kepala, ringan tangan
lurus hati, tua bangka.
3. Kaidah Sintaksis
3.1 Pengertian Sintaksis
Menurut Kridalaksana (2008: 222), sintaksis adalah ilmu yang mengatur hubungan kata dengan kata, atau satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Verhaar (1981: 70) mengatakan, sintaksis adalah bidang ilmu yang menyelidiki semua hubungan antarkata (atau antarfrasa) dalam satuan kalimat. Lebih rinci, Keraf (1984: 137) menjelaskan bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang mempelajari dasar-dasar dan proses-proses pembentukan kalimat dalam satu bahasa.
Dari berbagai pengertian sintaksis di atas dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah cabang ilmu tata bahasa yang mengkaji hubungan kata/frasa dengan kata/frasa di dalam kalimat.
3.2 Hakikat Kalimat
Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahsaan. Dalam wujud lisan, kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru.
Jika diamati lebih teliti, kalimat terdiri atas bagian inti dan bukan inti.
Bagian kalimat yang tidak dapat dihilangkan adalah bagian inti, sedangkan yang dapat dihilangkan adalah bagian bukan inti. Perhatikanlah contoh kalimat berikut ini.
(a) Kami kemarin sore mendatangi pertemuan itu.
Kalimat di atas terdiri atas empat bagian, masing-masing kami, kemarin sore, mendatangi, dan pertemuan itu. Dari keempat bagian kalimat ini, hanya bagian kemarin sore yang dapat dihilangkan tanpa mengganggu esensi makna kalimat itu. Bagian kalimat lainnya tidak dapat dihilangkan. Dengan demikian, kita hanya dapat menerima kalimat (b) di bawah ini, tetapi harus menolak kalimat (c), (d), dan (e).
(b) Kami mendatangi pertemuan itu.
(c) Kami kemarin sore pertemuan itu. (X)
(d) Kami kemarin sore mendatangi. (X)
(e) Kemarin sore mendatangi pertemuan itu. (X)
Dari paparan di atas dapatlah diketahui bahwa bagian kemarin sore bukanlah bagian inti kalimat, sedangkan bagian lainnya dalam kalimat tersebut merupakan bagian inti.
3.3 Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Pada kalimat (a) di atas, bagian-bagian inti kalimat merupakan satu kesatuan. Penghilangan salah satu bagian saja dari ketiga bagian inti itu akan meruntuhkan identitas sisanya sebagai kalimat, sebagaimana terbukti pada kalimat-kalimat (b), (c), dan (d) di atas. Kalimat yang terdiri atas satu kesatuan bagian inti, baik dengan maupun tanpa bagian bukan inti, disebut kalimat tunggal. Kalimat-kalimat (a) dan (b) di atas adalah contoh kalimat tunggal.
Kalimat dapat pula terdiri atas lebih dari satu kesatuan bagian inti, baik dengan maupun tanpa bagian bukan inti. Kalimat seperti ini disebut kalimat majemuk. Dengan kata lain, jika dilihat dari sudut pembentukannya, kalimat majemuk dapat dikatakan berasal dari dua atau lebih kalimat tunggal. Dalam hal ini, kalimat-kalimat tunggal yang bersangkutan dapat dipandang sebagai unsure yang disebut klausa. Lebih jauh mengenai klausa dapat dilihat pada contoh berikut ini.
(f) Nona sedang belajar dan adiknya membersihkan tempat tidur.
Kalimat (f) dibentuk dari dua kesatuan bagian inti, masing-masing (f1) Nona sedang belajar dan (f2) Adiknya membersihkan tempat tidur.
Kedua kesatuan bagian itu tersebut digabung dengan menggunakan konjungsi dan. Dengan demikian, kalimat (f) adalah kalimat majemuk yang mengandung dua buah klausa, masing-masing (f1) dan (f2).
3.4 Subjek, Predikat, Objek, Pelengkap, dan Keterangan Kalimat tunggal, yang terdiri atas dua konstituen atau bagian, jika dilihat dari aspek fungsi sintaksisnya, selalu berupa subjek dan predikat.
Dengan demikian, subjek dan predikat merupakan unsur minimal yang harus ada pada sebuah kalimat. Subjek adalah bagian kalimat yang tentangnya “dibicarakan” oleh predikat. Subjek lazimnya berada di depan predikat.
Di dalam bahasa Indonesia, subjek mudah dikenali karena tidak mungkin berupa kategori pronomina introgatif (kata ganti tanya).
Kalimat berikut ini terdiri atas dua konstituen: kawannya dan pulang.
(g) Kawannya pulang.
Konstituen pulang merupakan pusat dan verba itu sekaligus menjadi predikat kalimat. Kata pulang menjadi predikat karena kata tersebut “membicarakan” tindak kawannya. Konstituen pendamping kawannya merupakan subjek kalimat.
Di samping subjek dan predikat, ada lagi fungsi-fungsi kalimat lainnya yang disebut objek, pelengkap, dan keterangan. Objek adalah bagian kalimat yang langsung dikenai tindakan predikat. Objek dapat dikenali dengan dua cara: (1) melihat jenis predikat kalimat dan (2) memperhatikan ciri khas objek. Jika predikat kalimat bersifat aktif transitif,maka dapat dipastikan bahwa kalimat tersebut memiliki objek yang posisinya langsung berada di depan unsur predikat tersebut. Selain itu, objek memiliki ciri khas tertentu yang dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif. Lebih jelas, perhatikanlah kalimat berikut.
(h) Morten menundukkan Icuk.
Konstituen Icuk sebagai objek muncul karena dituntut oleh predikat transitif menundukkan. Bahwa Icuk berfungsi sebagai objek semakin jelas dengan memperhatikan kalimat pasif (i) di bawah ini.
(i) Icuk ditundukkan Morten.
Kata Icuk, yang sebelumnya berfungsi sebagai objek kalimat aktif (h), kini berfungsi sebagai subjek pada kalimat pasif (i).
Pelengkap adalah bagian kalimat berupa nomina, verba, atau ajektiva yang berada di belakang verba semitransitif, dan dapat didahului oleh preposisi. Orang sering mencampuradukkan konsep objek dengan pelengkap karena memang keduanya memiliki kemiripan. Baik objek maupun pelengkap sering berwujud nomina atau kata benda, dan keduanya sering menempati posisi yang sama di dalam kalimat, yakni di belakang verba. Perhatikanlah kedua kalimat berikut ini.
(j) Putri mendagangkan pakaian muslimah di Petisah.
(k) Putri berdagang pakaian muslimah di Petisah.
Pada kedua contoh kalimat di atas tampak bahwa pakaian muslimah adalah nomina dan berdiri di belakang verba mendagangkan dan berdagang. Namun demikian, fungsi nomina dimaksud berbeda pada kedua kalimat tersebut.
Pada kalimat (j), nomina pakaian muslimah berfungsi sebagai objek, sedangkan pada kalimat (k) befungsi sebagai pelengkap. Perbedaan fungsi nomina ini ditetapkan setelah melihat jenis predikat masing-masing kalimat.
Pada kalimat (j), nomina pakaian muslimah terletak di belakang predikat transitif, sedangkan pada kalimat (k), nomina itu terletak di belakang predikat semitransitif.
Kalimat (j), karena berpredikat transitif, dapat dipasifkan menjadi (l) berikut ini:
(l) Pakaian muslimah didagangkan Putri di Petisah
Pada kalimat pasif (l), nomina pakaian muslimah -- yang sebelumnya berfungsi sebagai objek kalimat aktif (j) – berfungsi sebagai subjek.
Sementara itu, kalimat (k), karena berpredikat semitransitif, tidak dapat dipasifkan.
Fungsi kalimat selanjutnya adalah keterangan. Keterangan merupakan satu-satunya fungsi dalam kalimat yang tidak termasuk unsur inti. Dengan pernyataan lain, fungsi keterangan dalam kalimat berkategori bukan unsur inti. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, unsur bukan inti dalam kalimat dapat dihilangkan, tanpa mengubah esensi makna kalimat. Unsur bukan inti adalah unsur yang memberikan keterangan tambahan kepada unsur inti.
Perhatikanlah kalimat (m) dan (n) berikut ini.
(m) Soraya memotong rambutnya.
(n) Soraya memotong rambutnya di kamar.
Kalimat (m) terdiri atas tiga unsur inti, masing-masing Soraya, memotong, dan rambutnya. Tanpa tambahan unsur lain pun, kalimat (m) sudah menyampaikan makna atau pesan yang utuh.
Unsur di kamar pada (n) adalah keterangan yang sifatnya mana suka, tetapi memberikan makna tambahan pada kalimat (n). Wujud keterangan dapat berupa nomina tunggal seperti kamar, atau nomina yang berpreposisi, seperti di kamar.
Makna keterangan di dalam kalimat ditentukan oleh perpaduan unsur-unsur yang terdapat di dalam kalimat. Dengan demikian ditemukanlah, misalnya, ‘makna tempat’ untuk kata di kamar pada kalimat (n). Berikut ini adalah aneka ragam makna unsur keterangan di dalam kalimat.
A. keterangan tempat : di jembatan, ke Medan, dari Aceh
B. keterangan waktu : kemarin, tadi pagi, bulan yang lalu, tahun 1945
C. keterangan alat : dengan gunting, dengan cangkul
D. keterangan tujuan : agar sehat, supaya sembuh
E. keterangan penyerta : dengan adik saya, bersama ibu
F. keterangan cara : secara hukum, dengan hati-hati
G. keterangan similatif : bagaikan dewi, seperti angin
H. keterangan sebab : karena perempuan itu, sebab kecerobohannya
I. keterangan saling : satu sama lain.
(lihat: Moeliono dan Soenjono Dardjowidjojo (ed), 1988: 254-266)
4. Kaidah Semantik
4.1 Konsep Semantik
Menurut Keraf (1984: 129), semantik adalah bagian tata bahasa yang meneliti makna dalam bahasa tertentu; mencari asal mula dan perkembangan dari suatu kata. Ditambahkan Keraf, di dalam semantik hanya dibicarakan tentang makna kata dan perkembangan makna kata. Kridalaksana (2008: 216) mengatakan, semantik adalah sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
Dua batasan mengenai semantik di atas menyebutkan bahwa foKus kajian semantik tidak lain adalah makna kata dalam satu bahasa. Simpulan ini ditegaskan juga oleh Oka dan Suparno (1994: 229) bahwa semantik, yang diadaptasi dari istilah bahasa Inggeris semantics, merupakan salah satu disiplin kajian bahasa yang mengkaji makna. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantic sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguiostik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna).
Semantik sebagai teori berlaku untuk semua bahasa, tetapi sebagai terapan untuk suatu bahasa, semantic hanya berlaku untuk bahasa yang bersangkutan. Dengan pernyataan terakhir ini berarti bahwa analisis semantik untuk sebuah bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja. Hal ini dapat dipahami karena setiap bahasa memiliki caranya sendiri dalam pembentukan makna sejalan dengan kekhasan masyarakatnya. Pada system makna bahasa Inggeris, misalnya, terdapat satu kata rice yang di dalam bahasa Indonesia dapat berarti ‘padi’, ‘beras’, atau ‘nasi’.
Di dalam bahasa Jawa terdapat pemilahan yang lebih rumit lagi. Padi yang masih bertangkai disebut pari; padi yang sudah lepas dari tangkainya disebut gabah; isi padi yang utuh disebut beras; isi padi yang pecah-pecah dan berbentuk kecil disebut menir; dan beras yang sudah dimasak disebut sega.
Demikianlah, makna itu unik pada tiap masyarakat bahasa. Keunikan tersebut dimungkinkan terjadi karena makna tidak dapat dilepaskan begitu saja dari sistem budaya dan lingkungan masyarakat bersangkutan.
4.2 Jenis-jenis Makna
Makna kata berarti maksud atau arti suatu kata atau isi suatu pembicaraan. Makna suatu kata dapat kita ketahui dari kamus. Namun demikian, makna kata bisa mengalami perubahan yang disebabkan oleh penggunaannya dalam kalimat serta situasi penggunaannya. Perhatikan, misalnya, kata pintar. Dalam kamus, kata itu bermakna ‘pandai’, ‘cakap’, ‘cerdik’, ‘banyak akal’, atau ‘mahir melakukan sesuatu’. Kata itu akan berubah-ubah makananya apabila sudah digunakan dalam kalimat. Berikut contohnya.
(a) El-Islami termasuk anak pintar (pandai). di sekolahnya.
(b) Cobalah bertanya kepada orang pintar (dukun) untuk penyakitmu itu..
(c) Pintar (bodoh) sekali kamu ini, ya. Makanya, jangan menonton terlalu malam (bodoh).
Kata pintar dalam kalimat (a) masih sesuai dengan makna dalam kamus. Kata itu berarti ‘pandai’. Akan tetapi, kata itu sudah mengalami perubahan makna ketika digunakan dalam kalimat berikutnya. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh konteks kalimat (b) dan situasi penggunaannya (c). Karena digunakan pada anak yang nilainya jelek serta penuturnya yang bernada marah, maka pandai dalam kalimat itu bukannya bermakna ‘pintar’. Akan tetapi, sebaliknya, kata itu justru bermakna ‘bodoh’.
Berdasarkan contoh di atas, untuk mengetahui makna suatu kata tidak cukup dengan hanya menggunakan kamus. Kita harus pula memperhatikan kalimat serta situasi penggunaan kata itu. Dengan cara demikian, pemahaman kita terhadap suatu kata akan lebih tepat atau mendekati maksud yang diinginkan oleh pembicara atau penulisnya.
Makna kata dapat dikelompokkan atas beberapa jenis. Syarif dkk. (2016: 71) mengelompokkan makna kata atas 14 jenis, yakni (1) makna denotasi-konotasi, (2) makna kana umum-kata khusus, (3) sinonim, (4) antonym, (5) homonim, (6) homograf, (7) homofon, (8) polisemi, (9) perluasan makna, (10), (11), (12), (13, dan (14).
4.2.1. Makna Denotasi dan Makna Konotasi
Makna kata terbagi atas dua bagian, masing-masing makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi adalah makna yang tidak mengalami perubahan apapun dari makna asalnya; sedangkan makna konotasi adalah makna yang telah mengalami penambahan-penambahan dari makna asalnya.
Contoh:
ibu guru -- ibu jari
tangan panjang -- panjang tangan
kepala besar -- besar kepala
Kelompok kata pada lajur kiri memiliki makna yang sesuai dengan kamus. Sebaliknya, makna kelompok kata pada lajur kanan sudah menyimpang dari makna kamus. Makna kelompok kata pada lajur kiri disebut makna denotatif, sedangkan makna kelompok kata pada lajur kanan disebut makna konotatif
4.2.2 Makna Kata Umum-Makna Kata Khusus

Kata umum adalah kata yang ruang lingkupnya meliputi bagian bagian dari kata lainnya. Sementara itu, kata khusus adalah kata yang cakupannya lebih sempit dan merupakan bagian atau anggota dari kata lainnya. Lebih lanjut, perhatikanlah deskripsi di bawah ini.
Kata Umum Kata Khusus
1. Buah:  mangga, papaya, apel, duku
2. Bunga: mawar, melati, tulip, anggerek





4.2.3 Sinonim
Sinonim adalah kata-kata yang sama atau hampir sama maknanya, tetapi bentuk katanya berbeda.
Contoh:
hewan - binatang
pintar - pandai
berita - kabar
hutan – rimba
4.2.4 Antonim
Antonim adalah kata-kata yang berbeda atau berlawanan maknanya.
Contoh
siang - malam
tinggi - pendek
awal - akhir
4.2.5 Hominim
Homonim adalah kata-kata yang bentuk dan cara pelafalannya sama, tetapi memiliki makna yang berbeda.
Contoh:
genting : 1. gawat, 2. atap
bisa : 1. racun, 2. dapat
4.2.6 Homograf
Homograf adalah kata yang tulisannya sama tetapi pelafalan dan maknanya berbeda. Contoh:
a. seri I = berseri-seri, gembira

seri II = bermain seri, seimbang
b. teras I = pejabat teras, inti
teras II = teras rumah, bagian halaman
4.2.7 Homofon
Homofon adalah kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda.
Contoh:
a. kol I = sayur kol, tanaman
kol II = naik colt, kendaraan
b. bang I = Bang Ahmad, kakak
bang II = bunga bank, lembaga penyimanan uang
4.2.8 Polisemi
Polisemi adalah kata yang memiliki banyak makna.
Contoh: jatuh, sakit.
1) Ari jatuh dari bangku.
Rupanya ia jatuh hati pada jejaka itu.
2) Nenek dibawa ke dokter karena sakit.
Bangsa ini sedang sakit.
4.2.9 Perluasan Makna
Perluasan makna (generalisasi), terjadi apabila cakupan makna suatu kata lebih luas dari makna asalnya.
Contoh Kata
Makna Asal
Makna Baru
berlayar
Mengarungi lautan
dengan kapal layar
Mengarungi lautan dengan
berbagai jenis kapal
Ibu
Emak
nyonya
4.2.10 Penyempitan Makna
Penyempitan makna (spesialisasi), terjadi apabila makna suatu kata lebih sempit cakupannya daripada makna asalnya.

Contoh Kata
Makna Asal
Makna Baru
ulama
Orang-orang yang
berilmu
Pemuka agama Islam
sarjana
cendekiawan
Gelar universitas
4.2.11 Ameliorasi
Ameliorasi adalah perubahan makna kata yang nilai rasanya lebih tinggi daripada kata lain yang sudah ada sebelumnya.
Kata Baru
Kata Lama
isteri
Bini
pembantu
Babu


4.2.12 Peyorasi
Peyorasi adalah perubahan makna kata yang nilainya menjadi lebih rendah daripada makna sebelumnya.

Contoh Kata
Makna Asal
Makna Baru
fundamentalisme
Orang yang
berpegang teguh
pada prinsip
Orang yang hidup
eksklusif;
mengutamakan
kekerasan
gerombolan
Orang-orang yang
berkumpul
Pengacau


4.2.13 Sinestesia
Sinestesia adalah perubahan makna kata akibat pertukaran tanggapan antara dua indra yang berlainan.


Contoh Kata
Makna Asal
Makna Baru
suaranya indah
indera penglihatan
indera pendengaran
sikapnya kasar
indera peraba
Indera penglihatan


4.2.14 Asosiasi
Asosiasi adalah perubahan makna kata yang terjadi karena persamaan sifat.

Contoh Kata
Makna Asal
Makna Baru
amplop
wadah untuk surat
Suap
buaya
Jenis binatang buas
orang jahat



POSTINGAN TERKAIT

TIPS SUKSES DI PRAKONDISI PLPG 2017 BACA DI SINI

MODUL PEDAGOGIK PERSIAPAN  PRAKONDISI PLPG 2017 UNDUH DI SINI
MODUL LENGKAP PERSIAPAN PRAKONDISI BAHASA INDONESIA UNDUH DI SINI
SOAL LENGKAP KOMPETENSI PROFESIONAL UNDUH DI SINI


0 komentar:

Post a Comment