Showing posts with label PRAKONDISI PLPG 2017. Show all posts
Showing posts with label PRAKONDISI PLPG 2017. Show all posts

27 July 2017

CONTOH SOAL / TUGAS PRAKONDISI PLPG 2017 DAN PEMBAHASAN



Salah satu kegiatan peserta PLPG tahun 2017 adalah membuat laporan kajian Modul/ Sumber Belajar kompetensi pedagogik dan professional (bidang studi) pada prakondisi PLPG 2017.
Berikut ini disajikan contoh soal / tugas prakondisi PLPG 2017 dan pembahasan/ petunjuk mengerjakan untuk sumber belajar / modul kompetensi pedagogik .


30 April 2017

MODUL I PERSIAPAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA


Pada program prakondisi pada PLPG 2017 seperti dikutip dari www.sertifikasiguru.id., Peserta PLPG 2017 wajib mempelajari Modul Pedagogik dan Modul Pendalaman Materi Bidang Studi secara mandiri dan dapat diunduh melalui laman sertifikasiguru.id

(PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 BISA DIUNDUH DI SINI)



Sebagai persiapan pendalaman modul Materi Bidang Studi Bahasa Indonesia di prakondisi PLPG 2017 kami sajikan Modul 1 Pendalaman Bidang Studi Bahasa Indonesia. Modul ini merupakan modul pada PLPG 2016. Pada modul 1 ini dibahas berbagai aliran linguistik.





BERBAGAI ALIRAN LINGUISTIK
Drs. Azhar Umar, M.Pd




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016







BAB I
BERBAGAI ALIRAN LINGUISTIK


A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan dapat memahami dan mengembangkan materi pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan aliranaliran linguistik struktural, deskriptif, dan fungsional.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Guru Mata
Pelajaran
Indikator Pencapaian Kompetensi
Memahami konsep, teori, dan
materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan
pengembangan materi
pembelajaran bahasa.
1. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan pembelajaran materi
fonologi bahasa Indonesia dengan tepat.
2. Mengidentifikasi teori linguistik strutural
yang terkait dengan pengembangan
materi kelas-kata bahasa Indonesia
dengan tepat.
3. Mengidentifikasi teori linguistik deskriptif
yang terkait dengan pengembangan
materi kelas kata bahasa Indonesia
dengan tepat
4. Mengidentifikasi teori linguistik
fungsional yang terkait dengan materi
pembelajaran sintaksis bahasa Indonesia
dengan tepat.
5. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia dengan
tepat.

6. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan materi pembelajaran
sintaksis bahasa Indonesia dengan tepat.
7. Mengidentifikasi teori linguistik
fungsional yang terkait dengan materi
pembelajaran morfologi bahasa
Indonesia dengan tepat.
8. Mengidentifikasi teori linguistic deskriptif
yang terkait dengan materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia dengan
tepat.
9. Mengidentifikasi materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia berdasarkan
aliran deskriptif dengan tepat.
10. Mengidentifikasi materi pembelajaran
fonologi bahasa Indonesia berdasarkan
aliran deskriptif dengan tepat.
11. Mengidentifikasi materi pembelajaran
kelas kata bahasa Indonesia berdasarkan
aliran fungsional dengan tepat.


C. Uraian Materi
1. Aliran Linguistik Struktural
1.1 Konsep dan Objek Telaah
Linguistik struktural adalah pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas (Kridalaksana, 2008: 146). Aliran linguistik struktural lahir di Perancis pada awal abad XX bersamaan dengan diluncurkannya buku ”Course de linguistique Generale” karya Ferdinand de Saussure pada tahun 1916. Saussure memandang bahasa sebagai suatu struktur sehingga pendiriannya dipandang sebagai linguistik struktural atau structural
linguistics
. Melalui bukunya itu, Saussure memaparkan pandangan-pandangannya mengenai: (1) telaah sinkronik dan diakronik bahasa, (2) pembedaan langue dan parole, (3) pembedaan signifiant dan signifie, serta (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik (Endang, 2016: 4).
Telaah sinkronik bahasa tidak lain adalah telaah bahasa dalam kurun waktu tertentu. Kata sinkronik sendiri berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’ dan khronos yang berarti ‘waktu’. Di dalam telaah sinkronik, setiap bahasa dianalisis tanpa memperhatikan perkembangnnya pada masa lampau. Bahasa Indonesia, misalnya, dapat dianalisis tanpa mempedulikan perkembangannya dari bahasa Melayu Klasik. Yang tampak dalam analisis sinkronik adalah apa yang lazim disebut struktur, misalnya hubungan antara
imbuhan dan kata dasar, hubungan antar-bunyi, hubungan antar-bagian kalimat dan sebagainya.
Telaah diakronik adalah telaah bahasa sepanjang waktu atau penyelidikan tentang perkembangan suatu bahasa. Kata ‘diakronik’ berasal dari bahasa Yunani dia yang bermakna ‘melalui’ dan khronos yang bermakna ‘waktu’. Secara sederhana, kata diakronik dapat diartikan sebagai studi antarwaktu. Apabila telah diakronik dilakukan terhadap bahasa Indonesia, maka akan tampak bahwa bahasa Indonesia sekarang berbeda dari bahasa Melayu Klasik atau Melayu Kuno yang
merupakan cikal bakalnya. Bahasa Melayu Kuno memiliki awalan mar- yang kemudian berubah menjadi me- dan ber- di dalam bahasa Melayu Klasik dan bahasa Indonesia sekarang.
Untuk membandingkan telaah sinkronik dan diakronik terhadap bahasa, Saussure memberikan ilustrasi berikut. Kalau kita membelah batang tumbuhtumbuhan dari atas ke bawah, maka akan tampak struktur tertentu. Kalau batang yang sama kita potong secara horisontal, maka akan tampak juga suatu struktur, tetapi berlainan sekali dari struktur hasil belahan vertikal di atas. Penampang lintang hasil memotong batang dapat kita bandingkan dengan struktur sinkronik,
sedangkan penampang bujur hasil membelah batang dapat kita sejajarkan dengan struktur diakronik (Verhaar, 1981: 6-7).
Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang bersifat abstrak yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antar-anggota suatu masyarakat bahasa. Karena berbasis masyarakat bahasa, dengan demikian, langue mengacu kepada bahasa tertentu, seperti bahasa Indonesia, bahasa Aceh, bahasa Sunda, dan lain-lain. Langue bersifat sosial karena kehadirannya merupakan konvensi atau kesepakatan di antara sekelompok pemakai bahasa. Karena bersifat sosial, individu pemakai bahasa tidak dapat mengubah atau memengaruhi perkembangn langue sesuka
hati.
Parole merupakan realitas fisik bahasa yang berbeda wujudnya pada satu individu dengan individu lain dalam masyarakat bahasa yang sama. Parole berwujud lebih konkret dan berciri individual. Sebagaimana dikemukakan Oka dan Suparno (1994: 60), parole terjadi dari pilihan perorangan yang jumlahnya tidak terbatas; banyak sekali pengucapan dan kombinasi-kombinasi baru. Jika kajian ilmiah diarahkan kepada parole, pemerian terhadapnya akan menjadi dan bersifat takterbatas.
Signifiant adalah citra dari bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam alam pikiran , sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Dengan kata lain, signifiant adalah pelambang, sedangkan signifie adalah sesuatu atau hal yang dilambangkan. Tidak terdapat hubungan yang logis atau rasional antara signifiant dengan signifie. Tidak dapat dijelaskan secara rasional mengapa himpunan bunyi /k/, /u/, /d/, /u/Hubungan keduanya bersifat arbitrer atau mana suka.
Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, dan bersifat linear. Dengan demikian, hubungan sintagmatik merupakan relasi antar-unsur bahasa yang hadir di dalam satu tuturan. Di dalam tuturan itu, unsur-unsur yang berelasi diucapkan.
Di dalam bahasa tulis, unsur-unsur itu juga dituliskan. Karena semua unsur yang berelasi atau berhubungan itu hadir, maka disebutlah hubungannya dengan hubungan sintagmatik. Sintagma adalah satuan yang terdapat dalam tuturan yang terbentuk dari dua unsur secara horizontal. Apabila sebuah tuturan dapat disimbolkan dengan XY, tuturan tersebut mengandung sintagma yang terdiri atas X dan Y. Di dalam bahasa Indonesia, pada tataran fonologi, misalnya, terdapat bunyibunyi /b/, /a/, /t/, dan /u/. Hubungan sintagmatik antara bunyi-bunyi tersebut dapat melahirkan macam-macam bentuk, seperti batu, buta, atau buat.
Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Unsur-unsur yang tidak hadir itu merupakan unsur yang diasosiasikan. Kata-kata kekerabatan, misalnya, memiliki hubungan-hubungan asosiatif. Pilihlah kata kekerabatan saudara sebagai contoh. Ketika digunakan, kata ini memiliki asosiasi atau berparadigma dengan kata-kata adik, kakak, paman, dan sebagainya (Oka dan Suparno, 1994: 77). Padahal, kata-kata yang disebutkan
terakhir ini tidak hadir di dalam tuturan atau tulisan.
Aliran linguistik struktural sangat berkembang di Amerika pada 1930-an yang kemudian melahirkan Tata Bahasa Struktural Amerika (TSA). TSA dipelopori oleh Charles F. Hockett, Edward Sapir, dan Leonard Bloomfield. Di antara tokoh-tokoh ini, Bloomfield-lah yang paling berpengaruh dan menentukan arah TSA. Bloomfield sudah mencetuskan pikiran-pikirannya mengenai TSA melalui bukunya An Introduction to Linguistic Science. Ia pun pernah menuangkan pikiran-pikirannya melalui majalah Langue tentang ilmu bahasa umum dan bahasa-bahasa tertentu yang sangat berpengaruh pada zamannya. Namun demikian, puncak ide
Bloomfield yang sesungguhnya tertuang di dalam bukunya Language yang terbit pada tahun 1933.
TSA yang dipelopori Bloomfield beranjak dari psikologi behaviorisme dan logika positivisme yang tumbuh dominan di Amerika sejak 1920. Menurut penganut behaviorisme, tingkah laku manusia bisa diterangkan berdasarkan situasi-situasi eksternal – bebas dari faktor-faktor internal. Pengaruh behaviorisme tampak sekali ketika Bloomfield memberikan uraian tentang pemakaian bahasa yang dipandangnya sebagai bentuk tingkah laku inter-relatif antara stimulusrespons.
Sementara itu, menurut logika positivisme, sebuah teori hanya dapat dianggap benar atau salah semata-mata setelah diujikan pada data kajian secara konkret. Dengan kata lain, sebuah teori hanya dapat dibenarkan setelah ia teruji secara empirik. Itulah sebabnya, dalam kajian bahasa, Bloomfield sangat memerhatikan ujaran atau korpus bahasa karena hal itulah yang empirik, paling objektif, dan mudah diamati secara langsung. Bagi Bloomfield, yang tidak dapat dijelaskan secara objektif harus ditangguhkan pengkajiannya. Pandangan inilah yang mendasari mengapa pengkajian TSA lebih banyak dilakukan terhadap fonologi, sedikit terhadap morfologi, dan amat sedikit mengenai sintaksis. TSA tidak memberi perhatian sama sekali terhadap semantik (Alwasilah,1985:47). Bagi penganut TSA, semantik merupakan studi yang paling tidak objektif dan tidak mudah diamati secara langsung.
TSA berpendirian, penelitian bahasa harus mampu menggambarkan bahasa sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya (Oka dan Suparno, 1994:297). Pikiran ini sejalan dengan logika positivisme yang dianut TSA yang sangat mengutamakan keterujian empirik sebuah kajian. Yang dimasudkan dengan bahasa sebagaimana adanya tidak lain adalah bahasa sebagaiman ia dipakai secara objektif-empirik oleh pemakai bahasa. Karena itulah, Bloomfield pernah mengatakan bahwa bukti-bukti material dalam ujaran langsung sangatlah penting.
Itu pula sebabnya, Bloomfiled selalu mengumpulkan data kebahasaan dari informan.
Dalam pengumpulan data kebahasaan itu, menurut Bloomfield (dalam Wasilah, 1985:79), keilmuan linguistik bergerak mengikuti tahapan-tahapan berikut:
(1) observasi
(2) laporan observasi
(3) pernyataan hipotesis
(4) penghitungan
(5) prediksi, dan
(6) uji coba prediksi melalui observasi lanjut
Dari tahapan pengumpulan data bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa TSA memusatkan perhatiannya pada pendeskripsian dan pengklasifikasian data performansi (performance) atau parole bahasa. Performance adalah tampilan bahasa dalam wujudnya yang ril, atau bahasa sebagaimana ia digunakan untuk berkomunikasi (Simanjuntak, 1987:113). Ini sejalan dengan ide dasar TSA yang menegaskan bahwa totalitas ujaran yang mungkin dihasilkan oleh satu masyarakat ujaran merupakan bahasa masyarakat ujaran itu (Bloomfield, 1939:13).
Dalam pendeskripsian data performansi bahasa itu, TSA melakukan analisis formal (analisis bentuk bahasa) dengan struktur bahasa sebagai sasaran kajiannya. Pengkajian struktur bahasa ini dilakukan melalui penggunaan prinsip analisis unsur bawahan langsung (immediate constituent), yakni unsur yang secara langsung merupakan bagian dari suatu bentuk yang lebih besar. Dalam penerapan unsur bawahan langsung ini digunakan teknik segmentasi. Satu unsur bahasa
disegmentasikan secara bertahap atau hirarkis sehingga diperoleh satuan-satuan pembentuknya. Lebih jelas mengenai analisis unsur bawahan langsung dapat dilihat dari analisis kalimat berikut ini. Anisah sudah belajar mengaji.
Kalimat di atas terdiri atas dua unsur langsung, yakni Anisah dan sudah belajar mengaji. Satuan sudah belajar mengaji terdiri atas dua unsur langsung yang lebih kecil, yakni sudah belajar dan mengaji. Satuan sudah belajar terdiri atas dua unsur bawahan langsung juga, yakni sudah dan belajar.
1.2 Tata Bahasa Struktural
Tata bahasa struktural mengkaji dua aspek penting struktur bahasa, masingmasing morfologi dan sintaksis (Ramlan, dalam Rusyana dan Samsuri (ed.), 1983: 33). Kedua struktur bahasa tersebut akan dibicarakan lebih lanjut pada bahagian berikut.
1.2.1 Morfologi
Morfologi adalah cabang tata bahasa yang membicarakan seluk-beluk pembentukan kata. Berdasarkan bentuknya, menurut tata bahasa struktural, kata dapat dibedakan atas dua golongan, masing-masing kata asal dan kata kompleks.
Kata asal adalah kata yang belum mengalami proses morfologis (afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan), seperti datang, lari, duduk. Kata kompleks adalah kata yang telah mengalami proses morfologis. Karena telah mengalami proses morfologis, kata kompleks dapat dikelompokkan atas tiga golongan, masingmasing kata (1) kata berimbuhan, (2) kata ulang, dan (3) kata majemuk.
Kata berimbuhan adalah kata yang dibentuk melalui proses afiksasi. Afiksasi dapat berupa prefiksasi atau pemberian awalan, seperti kata ‘dibuang’ (di + buang), infiksasi atau pemberian sisipan, seperti kata ‘gelembung’ (gembung + el), sufiksasi atau pemberian akhiran, seperti kata ‘makanan’ (makan + an), dan konfiksasi atau gabungan imbuhan, kata ‘pertalian’ (per + tali + an).
Kata ulang adalah kata yang dibentuk melalui proses reduplikasi atau perulangan. Reduplikasi dapat berupa reduplikasi seluruh, seperti tampak pada kata minum-minum; reduplikasi sebagian, seperti kata tetangga (dari bentuk asal tangga-tangga); reduplikasi yang berkombinasi dengan afiks, seperti terlihat pada kata kemerah-merahan (dari bentuk asal merah-merah + ke-an), dan reduplikasi dengan variasi fonem, seperti pada kata bolak-balik.
Kata majemuk atau komposisi adalah kata yang dibentuk melalui proses pemajemukan atau penggabungan dua kata yang membentuk makna baru, seperti jaksa agung, rumah makan, rumah sakit, daya tahan, kambing hitam, dan sebagainya. Konstruksi ini harus dibedakan dari frasa yang kebetulan merupakan gabungan beberapa kata juga. Perbedaan keduanya terdapat pada keketatan hubungan antar-kata yang membangunnya. Hubungan antar-kata di dalam frasa
lebih longgar daripada komposisi atau kata majemuk sehingga dapat disisipkan kata-kata lain di antaranya. Misalnya, frasa ‘rumah putih’ masih mungkin disisipkan kata ‘yang’ di antaranya sehingga menjadi ‘rumah yang putih’ Tidak demikian halnya dengan konstruksi komposisi ‘rumah sakit’. Di antara kedua kata yang membangun konstruksi itu tidak dapat disisipkan kata-kata lain lagi.
Kata kompleks dapat terbentuk melalui berbagai tahapan atau tingkatan. Ada kalanya, kata kompleks terbentuk melalui satu tahapan atau tingkatan saja, seperti kata kompleks pakaian. Kata ini berasal dari bentuk asal pakai yang mendapat afiks –an. Jadi, kata kompleks pakaian terbentuk melalui satu tahapan saja. Berbeda halnya dengan kata berpakaian yang terbentuk melalui dua tahapan, yakni pakai + -an (pakaian) + ber- (berpakaian). Pada bentuk berpakaian, kata pakaian menjadi bentuk dasarnya, sedangkan kata pakai menjadi bentuk asalnya. Tahapan atau tingkatan pembentukan kata berpakaian dapat digambarkan sebagai berikut: ber- pakai -an
Ada juga di antara kata kompleks yang terbentuk melalui tiga tahapan atau tingkatan, seperti kata berkepemimpinan dan berkepribadian.
1.2.2 Sintaksis
Bagian tata bahasa struktural lainnya adalah sintaksis yang membicarakan seluk-beluk frasa dan kalimat. Karena itu, pembicaraan pada bidang ini terdiri atas dua bagian besar, yakni frasa dan kalimat.
1.2.2.1 Frasa
Yang dimaksud dengan frasa adalah bentuk linguistik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak memlebihi satu batas fungsi dalam kalimat, seperti subjek, predikat, objek, maupun keterangan. Contoh-contoh frasa, misalnya, pintu baru, sedang makan, rumah paman, dan lain-lain. Bentuk bahasa yang sudah membentuk fungsi subjek dan predikat sekaligus tidak bisa lagi disebut sebagai frasa, melainkan kalimat.
Menurut tata bahasa struktural, pernentuan frasa dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip unsur langsung (UL). Penerapannya dapat diamati pada contoh kalimat berikut.
Ia lulusan Akbid di kota Medan.
Dari diagram di atas diketahui bahwa kalimat Ia lulusan Akbid di kota Medan terdiri atas UL ia dan UL lulusan Akbid di kota Medan. Selanjutnya, frasa lulusan Akbid di kota Medan terdiri atas UL lulusan Akbid dan UL di kota Medan. Satuan di kota Medan terdiri atas UL di dan UL kota Medan. Dengan demikian, berdasarkan prinsip unsur langsung, dari kalimat di atas diperoleh frasa-frasa berikut:
(a) lulusan Akbid di kota Medan
(b) Akbid di kota Medan
(c) di kota Medan
(d) kota Medan
Frasa kota Medan merupakan satuan frasa yang paling kecil karena terdiri atas dua
kata saja, yakni kota dan Medan.
Konstruksi frasa, menurut tata bahasa struktural, memiliki tipe yang khas. Ada konstruksi frasa yang unsur langsung pembentuknya tidak memiliki posisi yang setara; atau salah satu unsur langsung pembentuknya memiliki posisi yang lebih dominan daripada unsur langsung lainnya dalam frasa tersebut sehingga salah satu unsur langsung pembentuknya dapat mewakili atau memiliki fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya. Tetapi ada juga konstruksi frasa yang semua unsur langsung pembentuknya memiliki posisi yang setara; atau salah satu unsur
langsung pembentuknya tidak memiliki posisi yang lebih dominan daripada unsur langsung lainnya dalam frasa tersebut sehingga salah satu unsur langsung pembentuknya tidak dapat mewakili atau tidak memiliki fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya. Tipe frasa yang pertama, yang salah satu unsur langsungnya dapat mewakili unsur-unsur langsung yang lain di dalam frasa itu, lazim disebut frasa endosentris. Tipe frasa yang kedua, yang salah satu unsur langsungnya tidak dapat mewakili unsur-unsur langsung yang lain di dalam frasa itu, lazim disebut frasa eksosentris. Lebih lanjut mengenai kedua tipe frasa di atas dapat diamati pada contoh-contoh frasa berikut:
(1) petani muda
(2) sawah dan lading
(3) di rumah.
Frasa (1) memiliki fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya, yakni petani. Dengan kata lain, unsur langsung petani memiliki posisi yang lebih dominan daripada unsur langsung muda sehingga kata petani dapat mewakili frasa tersebut. Tidak sama halnya dengan frasa (2) dan (3). Frasa-frasa yang disebut terakhir ini tidak memiliki fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya. Dengan kata lain, tidak ada unsur langsung frasa yang memiliki posisi yang lebih dominan daripada unsur langsung lainnya di dalam frasa tersebut. Masing-masing unsur
langsung pembentuk frasa tersebut memiliki posisi yang setara. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, perhatikanlah penggunaan frasa-frasa di atas di dalam kalimat-kalimat berikut.
(4) Ia seorang petani muda.
Ia petani.
Jadi, kata petani bisa mewakili petani muda.
(5) Putri memiliki sawah dan ladang.
Putri memiliki sawah.
Putri memiliki ladang.
Jadi, masing-masing kata sawah dan ladang tidak bisa mewakili frasa
sawah dan ladang.
(6) Nona sedang di rumah.
Nona sedang di. (x)
Nona sedang rumah. (x)
Jadi, unsur-unsur langsung di maupun rumah tidak bisa mewakili frasa di rumah.
Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa (1) tergolong tipe frasa endosentrik karena salah satu unsur langsung frasa dapat berfungsi mewakili frasa tersebut. Frasa (2) dan (3) tergolong tipe frasa eksosentrik karena salah satu unsur langsung frasa tidak dapat berfungsi mewakili frasa tersebut.
Konstruksi frasa endosentrik dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan yang lebih kecil, masing-masing (1) konstruksi endosentrik-atributif, (2) konstruksi endosentrik-koordinatif, dan (3) konstruksi endosentrik-apositif. Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-atributif apabila frasa itu memiliki fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya. Unsur langsung yang fungsinya sama dengan frasa itu disebut unsur pusat dan yang tidak sama disebut atribut. Frasa petani muda pada contoh di atas tergolong ke dalam
konstruksi endosentrik-atributif. Unsur pusatnya adalah petani dan atributnya adalah muda.
Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-koordinatif apabila frasa itu memiliki fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya. Frasa sawah dan ladang pada contoh di atas tergolong ke dalam konstruksi endosentrik-koordinatif. Tidak terdapat unsur langsung frasa yang menjadi unsur pusat frasa.
Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-apositiff apabila frasa itu memiliki fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya, tetapi sekaligus kata kedua memberi keterangan kepada kata pertama. Frasa di rumah pada contoh di atas tergolong ke dalam konstruksi endosentrik-apositif.
Unsur langsung rumah memiliki fungsi yang setara dengan unsur langsung di, tetapi sekaligus memberi keterangan kepada unsur langsung di. Konstruksi frasa eksosentrik dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yang lebih kecil, masing-masing (1) konstruksi eksosentrik-objektif dan (2) konstruksi eksosentrik-direktif. Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi eksosentrik-objektif apabila frasa itu terdiri atas kata kerja yang diikuti oleh kata lain sebagai objeknya. Contoh-contoh berikut ini, menurut tata bahasa struktural, tergolong frasa yang memiliki konstruksi eksosentrik-objektif.
(7) mengecap kehidupan kota
(8) memenuhi jiwa
(9) memiliki cita-cita.
Kata-kata pertama pada setiap frasa di atas merupakan kelas kata kerja, dan katakata berikutnya merupakan objek dari kata kerja tersebut. Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi eksosentrik-direkktif apabila frasa itu terdiri atas direktor atau penanda diikuti kata atau frasa lain sebagai aksisnya. Contoh-contoh berikut ini, menurut tata bahasa struktural, tergolong frasa yang memiliki konstruksi eksosentrik-direktif.
(10) di sawah
(11) di atas pematang
(12) karena keterbelakangan mental.
Semua unsur langsung awal pada frasa-frasa di atas merupakan direktor atau penanda.
1.2.2.2 Kalimat
Sebagaimana telah dikemukakan, aspek kedua dari pembahasan sisntaksis adalah kalimat. Kalimat, sebagaimana luas disepakati di kalangan penganut tata bahasa struktural, adalah sebuah bentuk ketatabahasaan yang maksimal yang tidak merupakan bagian dari sebuah konstruksi ketatabahasaan yang lebih besar dan lebih luas (Pateda, 1988: 87).
Untuk pemahaman lebih luas mengenai dimensi-dimensi kalimat, baiklah menyimak ilustrasi berikut. Bila dua orang atau lebih sedang terlibat dalam satu percakapan, maka akan terlihat bahwa setiap kalimat yang mereka ucapkan merupakan rangsangan bagi pihak lain untuk memberikan jawaban. Jawaban dimaksud mungkin hadir dalam bentuk yang beragam, seperti lisan, tindakan, atau cara-cara lain yang menunjukkan adanya perhatian.
Jika A, misalnya, mengucapkan “Mau ke mana, Anda?”, maka si B akan memberikan jawaban lisan “Ke sekolah”. Jika A mengucapkan “Jangan pergi!” sebagai rangsangan, maka B mungkin tidak akan memberikan jawaban lisan,melainkan melakukan tindakan tidak pergi sebagai jawaban. Jika A mengucapkan “Ayahku pergi kemarin”, maka B tidak harus memberikan jawaban berupa lisan maupun tindakan. Cukuplah bagi B berdiam diri atau sekedar menganggukan kepala yang menandakan dirinya memiliki perhatian atas pernyataan A.
Berdasarkan iliustrasi mengenai rangsangan dan jawaban (stimulus dan respons) dalam percakapan antara A dan B di atas, penganut tata bahasa structural membagi kalimat atas tiga golongan, yakni (1) kalimat yang memerlukan jawaban lisan, (2) kalimat yang memerlukan jawaban tindakan, dan (3) kalimat yang memerlukan jawaban berupa perhatian. Yang termasuk golongan (1) adalah kalimat-kalimat tanya dan kalimat-kalimat seperti “Selamat pagi”, “Selamat siang”, dan sebagainya. Yang termasuk golongan (2) adalah kalimat-kalimat perintah, permintaan, dan ajakan. Yang termasuk golongan (3) adalah kalimat berita.
Selain berdasarkan rangsangan dan jawaban, kalimat dapat pula dibedakan berdasarkan banyaknya klausa yang menjadi unsurnya sehingga didapatkanlah kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa atau konstruksi yang hanya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P) saja, seperti:
(1) Ia cekatan sekali.
(2) Mobil itu mahal harganya.
Kalimat (1) hanya berisi satu klausa, yang dibangun oleh kata ia sebagai S dan cekatan sekali sebagai P. Begitu juga halnya dengan kalimat (2), hanya terdiri atas S (mobil itu) dan P (mahal harganya).
Kalimat majemuk adalah kalimat yang sekurang-kurangnya terdiri atas dua klausa atau kalimat yang terdiri atas sekurang-kurangnya dua konstruksi subjek
(S) dan predikat (P), seperti:
(3) Waktu dia datang ke mari, saya sedang berlibur di Bali.
(4) Anton dan Mirna tidak kuliah hari ini.
Kalimat (3) berisi dua klausa, masing-masing:
(a) dia datang ke mari
(b) saya sedang berlibur di Bali.
Klausa (a) dibangun oleh S (dia) dan P (datang), sedangkan klausa (b) dibangun
oleh S (saya) dan P (sedang berlibur).
Begitu juga halnya dengan kalimat (4), terdiri atas dua klausa, masing-masing:
(c) Anton tidak kuliah
(d) Mirna tidak kuliah.
Klausa (c) dibangun oleh S (Anton) dan P (tidak kuliah), sedangkan klausa (d)
dibangun oleh S (Mirna) dan P (tidak kuliah).
1.3 Penggolongan Kata
Persoalan penggolongan atau pengkelasan kata perlu dibicarakan di dalam tata bahasa struktural karena hal ini berhubungan dengan struktur frasa dan kalimat sebagaimana telah dibicarakan pada bagian terdahulu. Golongan atau kelas kata dalam tata bahasa struktural tidsk ditentukan berdasarkan makna, melainkan ditentukan secara gramatis, berdasarkan sifat atau perilaku kata di  dalam frasa atau kalimat. Jadi, kata yang memiliki sifat atau perilaku yang sama membentuk satu golongan atau kelas kata. Berdasarkan pemikiran ini, kata bahasa Indonesia dapat digolongkan atau dikelaskan menjadi (1) kata nomina, (2) ajektiva, dan (3) partikel (Ramlan, dalam Rusyana dan Samsuri (ed), 1983: 33).
Kata nomina (N) adalah semua kata yang dapat menduduki tempat objek, dan apabila kata itu dinegatifkan, maka dinegatifkan dengan kata bukan. Jenis kata ini dapat dibedakan atas tiga golongan atau kelas, masing-masing kata benda (Bd), kata ganti (Gt), dan kata bilangan (Bil). Termasuk golongan kata benda, di antaranya, adalah petani, guru, harimau, meja, dan rumah. Termasuk kata ganti adalah saya, kita, Putri, Medan, itu, ini, dan sebagainya. Contoh kata bilangan, di antaranya, adalah satu, lima belas, dan kesatu.
Kata ajektiva (A) adalah semua kata yang tidak dapat menduduki tempat objek, dan bila dinegatifkan harus menggunakan kata tidak. Kelas kata ini dapat juga dinegatifkan dengan kata bukan apabila dipertentangkan dengan keadaan lain, misalnya: Ia bukan menulis, melainkan menggambar.
Jenis kata ini dapat dibedakan atas dua golongan atau kelas, masing-masing kata sifat (Sf) dan kata kerja (Kj). Kata sifat adalah kata ajektiva yang dapat didahului oleh kata agak, sangat, dan lebih, seperti sakit, tinggi, dan rajin. Kata kerja adalah kata ajektiva yang dapat didahului oleh kata boleh, seperti bekerja, lari, dan tidur.
Kata partikel (P) adalah semua kata yang tidak termasuk golongan nomina dan ajektiva. Kata ini dibedakan menjadi kata penjelas (Ps), kata keterangan (Kt), kata penanda (Pn), kata perangkai (Pr), kata Tanya (Ta), dan kata seru (Sr). Kata penjelas (Ps) adalah kata yang di dalam frasa selalu berfungsi sebagai atribut dalam konstruksi endosentrik yang atributif, seperti suatu, semua, paling, lebih, boleh, harus, sedang, dan sebagainya. Kata keterangan (Kt) adalah kata yang selalu
berfungsi sebagai keterangan bagi klausa, seperti kemarin, tadi, dahulu, dan sebagainya. Kata penanda (Pn) adalah kata yang menjadi direktor dalam konstruksi eksosentrik yang direktif, seperti di, dari, ke, karena, bahwa, dan sebagainya. Kata perangkai (Pr) adalah kata yang berfungsi sebagai koordinator dalam konstruksi endosentrik yang koordinatif, seperti dan, atau, tetapi. Kata tanya (Tn) adalah kata yang berfungsi membentuk kalimat tanya, seperti mengapa, bagaimana, berapa. Kata seru (Sr) adalah kata yang tidak memiliki sifat sebagai partikel yang lain, seperti heh, nih.
Golongan atau kelas kata di atas masih dapat dirinci menjadi golongan atau kelas kata yang lebih kecil lagi. Kata benda (Bd), misalnya, berdasarkan kata petunjuk satuan yang dipakai, dapat digolongkan menjadi (1) kata benda manusiawi, yakni kata benda yang menggunakan kata orang sebagai penunjuk satuan, seperti petani, guru, mahasiswa, (2) kata benda wewani, yakni kata benda yang menggunakan kata ekor sebagai penunjuk satuan, seperti merpati, harimau,
(3) kata benda lainnya, yakni kata benda yang tidak menggunakan kata orang dan ekor sebagai penunjuk satuan, seperti rumah, meja, bunga.
Kata kerja, berdasarkan kemungkin memiliki objek dan kemungkinan dipasifkan, dapat digolongkan menjadi (1) kata kerja yang tidak dapat diikuti objek, seperti menggeliat, berangkat, pergi, (2) kata kerja yang diikuti objek dan dapat dipasifkan, seperti membangunkan, menjemput, (3) kata kerja yang dapat diikuti dua objek, seperti memberikan, membelikan, (4) kata kerja yang dapat diikuti onjek, tetapi tidak dapat dipasifkan, seperti berdagang, berjudi.
Di samping penggolongan kata, dijumpai pula penggolongan frasa yang sejalan dengan penggolongan kata, seperti frasa benda, frasa bilangan, frasa sifat, frasa kerja, frasa keterangan, dan frasa penanda. Frasa benda adalah frasa yang pusatnya berupa kata benda atau kata ganti, seperti rumah itu, mereka itu, rumah bagus. Frasa bilangan adalah frasa yang pusatnya berupa kata bilangan, seperti dua buah, lima ekor. Frasa sifat adalah frasa yang pusatnya berupa kata sifat, seperti sangat lelah, kaya sekali, tidak sakit. Frasa kerja adalah frasa yang pusatnya berupa kata kerja, seperti akan lari, tidak pergi. Frasa keterangan adalah frasa yang pusatnya berupa kata keterangan, seperti tadi malam, kemarin siang.
Frasa penanda adalah frasa yang pusatnya berupa kata penanda, seperti:
- di pada di rumah,
- karena
pada karena harta,
- kalau
pada kalau tidak hujan.
1.4 Keunggulan Aliran Struktural
Aliran struktural memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut:
a. Aliran ini sukses membedakan konsep grafem dan fonem.
b. Metode drill and practice membentuk keterampilan berbahasa berdasarkan kebiasaan.
c. Kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah diterima masyrakat awam.
d. Level kegramatikalan sistematis: mulai dari morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat.
e. Berpijak pada fakta, tidak mereka-reka data.
1.5 Kelemahan Aliran Struktural
Aliran struktural memiliki beberapa kelemahan berikut:
a. Bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas.
b. Metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dan sangat menjemukan.
c. Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap yang berlangsung secara fisis dan mekanis. Padahal, manusia bukan mesin.
d. Kegramatikalan berdasarkan kriteria keumumam sehingga kaidah yang salah pun bisa benar jika dianggap umum.
e. Faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa.
f. Objek kajian terbatas sampai level kalimat, tidak menyentuh aspek komunikatif.
g. Terlalu mendalkan struktu permukaan bahasa, mengabaikan struktur dalam.
2. Aliran Linguistik Deskriptif
2.1 Konsep Linguistik Deskriptif
Tidak dapat disangkal bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi manusia bersifat dinamis, selaras dengan dinamika yang dialami oleh penuturnya. Dapatlah dipastikan bahwa bahasa yang hidup dalam satu kurun waktu tertentu berkemungkinan memiliki ciri-ciri struktural, bahkan kosa kata, yang tidak lagi persis sama dengan keadaan bahasa itu pada kurun waktu yang lain, meskipun perbedaan tersebut selalu tidak tajam. Bahasa-bahasa mengalami evolusi mengikuti perkembangan masyarakat pendukungnya.
Kemungkinan berevolusinya bahasa ini membawa pengaruh terhadap kajian atau studi linguistik. Sekurang-kurangnya, ada dua macam studi linguistik yang muncul untuk merespons keadaan ini. Pertama, studi linguistik yang hanya memusatkan perhatian kepada objek bahasa yang ril, yang hidup dan digunakan penuturnya pada kurun waktu tertentu. Kedua, studi linguistik yang memusatkan perhatian kepada objek fase evolusi bahasa. Studi linguistik yang pertama
mendorong munculnya aliran linguistik deskriptif dalam pengkajian bahasa, sedangkan studi linguistik yang kedua mendorong munculnya aliran linguistiK komparatif.
Linguistik deskriptif lahir pada pengujung abad XIX di Amerika dengan tokoh utamanya Franz Boas. Ide aliran linguistik ini muncul karena Boas dan rekanrekannya berhadapan dengan masalah-masalah praktis untuk menghasilkan bentuk atau struktur yang ada dalam berbagai bahasa yang diucapkan penuturnya.
Aliran linguistik deskriptif bertujuan merumuskan teori linguistik yang abstrak sebagai alat untuk menyelesaikan deskripsi bahasa-bahasa tertentu dengan praktis dan sukses. Karena itulah, linguistik deskriptif berhubungan dengan pemerian dan analisis tentang cara-cara bahasa beroperasi dan digunakan oleh kelompok penutur tertentu pada waktu tertentu (Robins dalam Alwasilah, 1985: 110).
Studi deskriptif ini tidak memuat acuan banding kepada pemerian bahasa pada periode sebelumnya. Tidak pula memuat studi acuan kepada bahasa lain pada periode yang sama. Menurut Sudaryanto (1988: 62), istilah deskriptif menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturpenuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang
biasa dikatakan. Bahwa perian yang deskriptif itu tidak mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa oleh penutur, hal itu memang merupakan cirinya yang pertama dan terutama. Berikut adalah ide-ide Boas tentang ciri struktural suatu bahasa : (1) kategori gramatikal, setiap bahasa memiliki system  gramatikal dan sistem fonetik masing-masing. Sistem fonetik digunakan sesuai dengan kebutuhan makna oleh karena itu, unit dasar bahasa adalah kalimat, (2)
pronomina kata ganti, tidak ada orang pertama jamak, karena kata ganti itu tidak tetap, dan (3) verba memiliki sifat arbitrari dan berkembang tidak merata pada berbagai bahasa.
2.2 Keunggulan Aliran Linguistik Deskriptif
Aliran linguistik deskriptif memiliki beberapa keunggulan berikut:
(a) memerikan bahasa Indian dengan cara yang baru secara sinkronis.
(b) menolak aliran linguistik mentalistik karena tidak sejalan dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu, yaitu behaviorisme.
(c) sudah mengelompokkan kategori gramatikal, verbal, dan pronomina kata ganti.
(d) terjalinnya hubungan yang baik antar sesama linguis.
(e) mimiliki cara kerja yang sangat menekankan pada pentingnya data yang objektif untuk memerikan suatu bahasa.
2.3 Kelemahan Aliran Linguistik Deskriptif
Aliran deskriptif memiliki kekurangan karena sama sekali tidak memperhatikan aspek makna atau semantik. Karena sangat dipengaruhi oleh psikologi behaviorisme, aliran ini lebih cenderung menganalisis fakta-fakta bahasa secara objektif dan nyata, terutama fonologi dan morfologi. Makna diabaikan karena dianggap sangat subjektif, tidak konkret.
3. Aliran Linguistik Fungsional
3.1 Konsep Aliran Linguistik Fungsional
Secara umum, aliran linguistik fungsional dipahami sebagai gerakan linguistic yang beranggapan bahwa struktur fonologis, gramatikal, dan semantik ditentukan oleh fungsi yang dijalankannya di dalam masyarakat (Kridalaksana, 2008: 68). Aliran yang dipelopori oleh Roman Jakobson dan Andre Martinet ini memiliki peranan penting dalam sejarah perkembangan linguistik, terutama dalam upaya menjembatani kesenjangan yang terbentang antara linguistik struktural Amerika
dan linguistik struktural Eropa. Linguistik struktural Eropa banyak dipengaruhi oleh gagasan fungsi-fungsi linguistik yang menjadi ciri khas aliran Praha.
Jejak aliran fungsional sebenarnya sudah terlihat pada masa berkembangnya aliran Praha. Trubeckoj, seorang tokoh aliran Praha, telah berupaya mewujudkan gagasan fungsional ini. Melalui tulisannya, ia pernah mengatakan “…the phonemes is first of all a functional concept, which must be defined according to its function” (… fonem-fonem merupakan hal utama dari seluruh konsep fungsional yang harus mengacu kepada fungsinya) (dalam Samsuri, 1988: 28). Trubeckoj sudah berupaya membatasi fonem menurut fungsinya. Fungsi inilah yang mendasari gagasan fungsional Jakobson dan Martinet.
Gagasan fungsi bahasa menempati kedudukan penting karya-karya Jakobson. Jakobson tidak hanya memasukkan unsur-unsur yang istimewa, tetapi juga memasukkan fungsi aktivitas bahasa – hal yang juga pernah dikemukakan oleh Karl Buhler dengan konsepsi yang berbeda. Menurut Jakobson, ada enam fungsi bahasa manusia, yakni fungsi-fungsi ekspresif, konatif, denotatif, fatik, metalinguistik, dan puitik. Keenam fungsi bahasa manusia ia gambarkan sebagai berikut:
Enam Fungsi Bahasa
denotative (inferensial)
ekspresif

fatik

konatif
metalinguistik
puitik
Fungsi ekspresif berpusat pada pembicara yang ditunjukkan oleh penggunaan interjeksi-interjeksi. Fungsi konatif berpusat pada pendengar yang ditunjukkan oleh unsure-unsur vokatif dan imperative. Fungsi denotatif berpusat pada konteks, yang ditunjukkan oleh penggunaan pernyataan-pernyataan faktual dalam pelaku ketiga dan dalam suasana hati indikatif. Fungsi fatik berpusat pada kontak yang ditunjukkan oleh adanya jalur yang tidak terputus antara pembicara dan pendengar. Misalnya, dalam pembicaraan melalui telefon, kata-kata ‘hello,
ya..ya…, heeh’ digunakan untuk membuat jelas bahwa seseorang masih mendengarkan dan menunjukan jalur percakapan tidak terputus. Fungsi metalinguistik berpusat pada kode yang berupa bahasa pengantar ilmu pengetahuan, biasanya berisi rumus-rumus atau lambang tertentu. Fungsi puitik berpusat pada pesan. Enam fungsi bahasa ini dihubungkan atau disejajarkan Jakobson dengan enam faktor bahasa di sisi lainnya. Keenam faktor bahasa tersebut adalah:
Enam Faktor Bahasa
Konteks (context)
Pembicara

pesan (message)


pendengar
Hubungan (contact)
Kode (code)
3.2 Pentingnya Kajian Diakronik
Jakobson adalah orang pertama yang mengatakan pentingnya studi fonologi diakronik. Ia mendeskripsikan evolusi fonologis bahasa Rusia. Uraiannya ini dikaitkan dengan masalah-masalah fonologi historis. Metode kerja Jakobson ini bertentangan dengan dikotomi sinkronik – diakronik yang dikemukakan Saussure. Menurut Saussure, kedua studi itu seharusnya dipisahkan. Tetapi Jakobson mendapat dukungan dari hasil diskusi sejumlah ahli di Hague yang menyatakan bahwa dikotomi Saussure itu harus dibatasi, dan sejarah bahasa jangan dikerdilkan
ke dalam kajian perubahan yang terisolasi, melainkan harus dikaji dalam system bahasa itu sendiri (Samsuri, 1988: 30).
Jakobson menyatakan dengan tegas bahwa tidak akan ada kajian sinkronik tanpa adanya kajian diakronik. Sekali lagi, pendapatnya berbeda atau bertentangan dengan rezim Saussure yang mengatakan bahwa kajian diakronik mempraanggapkan kajian sinkronik. Menurut Jakobson, perubahan bahasa merupakan bagian dari sistem bahasa, dalam bentuk kecenderungan stilistik (ciri khas orang muda dan tua atau ciri khas kaum tradisional dan modern) dan kecenderungan modifikasi dari tuturan individu. Gagasan ini terus muncul dalam pikiran Jakobson, diperbaiki dan disesuaikan selaras dengan perkembangan teorinya. Sinkroni tidak harus dipahami secara statis, melainkan harus dipahami secara dinamis. Aspek sinkromik filem, misalnya, bukanlah ragangan atau seperangkat ragangan yang masing-masing dinilai secara terpisah, melainkan harus dinilai secara serentak. Sebaliknya, gambar yang mengiklankan filem, yang berupa sebuah poster, bersifat statis. Jika gambar tersebut dibiarkan berlama-lama di sebuah bioskop, dan tentu saja mengalami banyak perubahan (misalnya gambarnya menjadi buram, cahaya pudar, dan sebagainya), maka tidak ada yang dapat mencegah siapa pun untuk mengkajinya sebagai sebuah karya diakronik yang statis.
Penafsiran perubahan, kata Jakobson, harus bersifat teleologis (segala sesuatu dirancang untuk memenuhi tujuan tertentu) dalam pengertian tujuan, bukan dalam pengertian sebab. Sebab-sebab akhir perubahan bahasa harus terusmenerus dicari. Sebuah simpulan sistematis dari teori ini ditemukan di dalam esai Jakobson yang berjudul “Prinzipien der Historichen Phonologie” yang terbit pada tahun 1931.
Selain hal di atas, Jakobson juga memberi sumbangan yang penting bagi penderita afasia (gejala kehilangan kemampuan menggunakan maupun memahami kata-kata karena suatu penyakit otak) dan bagi bahasa anak. Gangguan afasia dibagi Jakobson ke dalam dua kelompok, yakni:
(1) similarity disorders yang mempengaruhi seleksi dan subtitusi item dengan stabilitas kombinasi dan konstektur yang bersifat relatif dan (2) contiguity disorders yang seleksi dan subtitusinya secara relatif normal, sedangkan kombinasi rusak dan tidak gramatikal, urutan kata kacau, hilangnya infleksi dan preposisi, konjungsi, dan sebagainya.
Jakobson melihat semua ini sebagai sebuah dikotomi yang merupakan ciri khas proses simbolik apapun. Kesungguhan pada kajian dikotomi, untuk menafsirkan fakta bahasa dalam hubungan dwimatra (binary), sangat menonjol pada setiap aspek gagasan Jakobson. Siapa pun dapat melihat ketidaksepakatannya dengan ciri linear significant Saussure. Menurut Jakobson, unsur bahasa itu dapat birsifat simultan. Ciri pembeda, yang terjadi simultan dengan cirri yang lain, berkaitan dengan batasan Sauusure tentang opositif dan diferensial. Yang merupakan ciri khas
Jakobson bukanlah analisis fonem ke dalam ciri distingtif, melainkan ciri dwimatra.
Fonem bagi Sauussure bukan unsur opositif. Fonem itu tidak dikaitkan dengan opositnya, tetapi dikaitkan dengan ciri distingtifnya. Fonem ditandai oleh ada atau tidaknya kualitas yang diberikan. Jakobson juga menekankan pentingnya korelasi-korelasi fonologis sebagai untaian perbedaan-perbedaan arti yang terpisah. Menurut buku Jakobson dan Halle Fundamentals of Language, 1956, fonologi memiliki ciri-ciri expressive, configurative, dan distinctive. Eexpressive meletakkan tekanan pada bagian ujaran yang berbeda atau pada ujaran yang berbeda; menyarankan sikap emosi pembicara . Configurative, menandai bagian ujaran ke dalam satuan-satuan gramatikal dengan memisahkan ciri kulminatifnya satu persatu, atau dengan
memisahkan batasannya (ciri-ciri demarkatif). Distinctive bertindak untuk memperinci satuan-satuan linguistik, ciri-ciri itu terjadi secara serempak dalam untaian yang berujud fonem. Fonem-fonem dirangkaikan ke dalam urutan. Pola dasar urutan serupa itu berujud suku kata. Dalam setiap suku kata terdapat bagian yang lebih nyaring yang berupa puncak. Puncak itu berisi dua fonem atau lebih, maka salah satu darinya adalah puncak fonem atau puncak suku kata. Andre
Maertinet, tokoh penting linguistic fungsional lainnya, mengembangkan teori-teori mengenai fonologi deskriptif, fonologi diakronis, dan sintaksis. Pandangan linguistik umumnya merupakan sumbangan pemikiran penting bagi linguistic modern. Fonologi sebagai fonetik fungsional harus berdasarkan fakta-fakta dasar atau mengetahui fungsi-fungsi perbedaan bunyi bahasa sebagaimana mestinya.
Martinet mencurahkan perhatian pada fonologi diakronis dengan mencoba membuat deskripsi murni. Fonologisasi dan defonologisasi direkam, disertai keterangan tentang perubahan-perubahan menurut prinsip-prinsip umum. Kriteria interpretasi dasar diberikan oleh dua unsur yang berlawanan: (1) efisiensi dalam komunikasi, dan (2) tendensi pada upaya yang minimum. Ia juga menyatakan, analisis fonem ke dalam ciri-ciri distingtif, yang mengungkapkan adanya korelasikorelasi sebuah fonem yang terintegrasi dalam untaian korelatif, akan menjadi stabil. Selain itu, dikembangkan pula artikulasi rangkap yang menarik dan menggarisbawahi pada fungsi sintaksis sebagai gagasan yang sentral.
Gagasannya ini berupa kelanjutan wawasan fungsional yang telah disarankan oleh Sekolah Praha. Fungsi-fungsi bahasa dan fungsi-fungsi unsur linguistik sebagai suatu sistem unsur-unsur atau struktur unsur-unsur dipelajari untuk menjelaskan perbedaan bahasa dengan sistem tanda buatan yang mungkin distrukturkan dalam suatu cara yang sama, tetapi tak dapat memiliki fungsi-fungsi yang sama seperti bahasa. Pandangan struktural itu dapat dirujukkan kembali dengan pandangan fungsional, tetapi hal itu bagi Martinet adalah pelengkap logisnya. Pilihan nama fungsional sebagai pengganti struktural, menunjukkan bahwa aspek fungsional paling membuka pikiran, dan hal itu tidak mesti dipelajari secara terpisah dari yang lain.
Kemunculan aliran fungsional dalam bidang linguistik merupakan kontribusi dari berbagai bidang ilmu di antaranya adalah antropologi, sosiologi, dan psikologi yang menganut strukturalisme. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh besar Saussure hingga Chomsky. Fungsionalisme dalam kajian ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Struktural Fungsional. Fungsionalisme adalah gerakan dalam linguistic yang berusaha menjelaskan fenomena bahasa dengan segala manifestasinya dan beranggapan bahwa mekanisme bahasa dijelaskan dengan konseuensikonsekuensi yang muncul kemudian dari mekanisme itu sendiri. Wujud bahasa
sebagai sistem komunikasi manusia tidak dapat dipisahkan dari tujuan berbahasa, sadar atau tidak sadar. Konsep utama dalam fungsionalisme ialah fungsi bahasa dan fungsi dalam bahasa. Sikap fungsionalistis terhadap fungsi bahasa sebagai berikut.
a. Analisis bahasa mulai dari fungsi ke bentuk.
b. Sudut pandang pembicara menjadi perspektif analisis.
c. Deskripsi yang sistematis dan menyeluruh tentang hubungan antara fungsi dan
bentuk.
d. Pemahaman atas kemampuan komunikatif sebagai tujuan analisis bahasa.
e. Perhatian yang cukup pada bidang interdisipliner, misalnya sosiolinguistik dan
penerapan linguistik pada masalah praktis, misalnya pembinaan bahasa.
3.3 Keunggulan Aliran Linguistik Fungsional
Aliran lingustik fungsional memiliki keunggulan-keunggulan sebagai berikut.
a. Pada khasanah kebahasaan, linguistik Fungsional sangat mempengaruhi tata bahasa dalam perkembangan linguistik sebelumnya, sekaligus membuka cakrawala baru agar aspek fungsional menjadi pertimbangan penelitian bahasa. Dengan menelurkan istilah fungsional, praktis landasan yang digunakan dalam melihat bahasa (tataran fonologi, morfem, dan sintaksis) adalah fungsi.
Keunggulan lain aliran ini adalah: kita dapat mengetahui bahwa setiap fonem (bunyi) itu memiliki fungsi, sehingga dapat membedakan arti. Setiap monem (istilah Martinet) yang diartikulasikan memiliki isi dan ekspresi. Dengan begitu dapat dilihat fungsinya. Kemudian pada tataran yang lebih besar, yaitu sintaksis, aliran ini menekankan pada fungsi preposisi dan struktur kalimat. Maksudnya, unsur linguistik dalam sebuah kalimat dapat dijelaskan dengan merujuk pada fungsi sehingga ditemukan pemahaman logis yang utuh. Jadi, aliran ini telah berhasil melihat setiap komponen bahasa berdasarkan fungsi dan menginspirasi gagasan adanya relasi antara struktur dan fungsi bahasa.
b. Dalam dunia sastra, gagasan Jakobson tentang enam fungsi bahasa menjadi pijakan dalam menelaah karya sastra. Idenya tersebut melahirkan istilah model komunikasi sastra, yang memusatkan pada pesan yang terkandung dalam karya sastra. Model ini banyak diadopsi untuk menggali fungsi bahasa dalam wacana baik wacana ilmiah maupun nonilmiah, sastra maupun nonsastra.
3.4 Kelemahan Aliran Linguistik Fungsional
Aliran lingustik fungsional memiliki kelemahan-kelenahab sebagai berikut.
a. Gagasan fungsional tidak menyentuh secara mendalam komponen makna dalam pengkajian bahasa. Pada tataran sintaksis, hanya disebutkan adanya fungsi dalam setiap struktur bahasa, namun tidak menjelaskan terminologi apa saja yang tercakup di dalamnya. Selanjutnya, bagaimana menyusun kalimat yang benar berdasarkan fungsi pun tidak jelas. Demikian halnya pada tataran fonologi dan morfologi. Jadi, kelemahan aliran ini adalah tidak mampu menguraikan fungsi unsur linguistik lebih rinci, khsususnya .pada tataran sintaksis. Dalam
struktur kalimat, gagasan aliran ini tidak menjelaskan komponen apa saja yang tercakup dalam aspek fungsional. Sebagaimana kita ketahui, ada fungsi lain dalam kalimat yaitu fungsi semantis dan fungsi pragmatis.
b. Sementara dalam dunia sastra, fungsi bahasa yang dinyatakan oleh Jakobson,ketika diterapkan dalam menganalisis karya sastra memiliki kekurangan. Model komunikasi sastra Jakobson tidak memperhatikan potensi kebahasaan yang lain seperti mengabaikan relevansi sosial budaya. Padahal, sosial budaya memainkan peranan penting dalam memahami makna bahasa, terlebih dalam karya sastra karena di dalamnya melibatkan aspek sosio cultural yang sangat kental.
Mengacu pada model komunikasi sastra, karya sastra hanya bertumpu pada pesan yang disampaikan, padahal pemahaman karya sastra sangat bergantung pada pemahaman pembaca. Adanya unsur keterkaitan intertektualitas dan intratekstualitas dalam memahami karya sastra perlu diperhatikan karena setiap karya sastra tidak ada yang berdiri sendiri.
POSTINGAN TERKAIT
TIPS SUKSES DI PRAKONDISI PLPG 2017 BACA DI SINI
MODUL PEDAGOGIK PERSIAPAN  PRAKONDISI PLPG 2017 UNDUH DI SINI
MODUL LENGKAP PERSIAPAN PRAKONDISI BAHASA INDONESIA UNDUH DI SINI
SOAL LENGKAP KOMPETENSI PROFESIONAL UNDUH DI SINI

MODUL II PERSIAPAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA


Berdasarkan informasi yang ada di www.sertifikasiguru.id., Peserta PLPG 2017 wajib mempelajari Modul Pedagogik dan Modul Pendalaman Materi Bidang Studi secara mandiri dan dapat diunduh melalui laman sertifikasiguru.id

(PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 BISA DIUNDUH DI SINI)

Sebagai persiapan pendalaman modul Materi Bidang Studi Bahasa Indonesia di prakondisi PLPG 2017 kami sajikan Modul 2 Pendalaman Bidang Studi Bahasa Indonesia. Modul ini merupakan modul pada PLPG 2016. Pada modul 2 ini dibahas berbagai Hakikat Bahasa dan Pemerolehan Bahasa.



HAKIKAT BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA
Drs. Azhar Umar, M.Pd




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016















BAB II
HAKIKAT BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA


A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan memiliki pemahaman terhadap konsep hakikat bahasa, hakikat pemerolehan bahasa, dan jenis-jenis pemerolehan bahasa dengan baik
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Guru
Indikator Pencapaian Kompetensi
Memahami hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa.
2.1 Mengidentifikasi konsep hakikat bahasa.
2.2 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (fonologi)
2.3 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (morfologi).
2.4 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (sintaksis).
2.5 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (semantic)
2.6 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (pragmatik).
2.7 Membedakan pemerolehan dan
pembelajaran bahasa
2.8 Menentukan tahapan pemerolehan
bahasa anak
2.9 Mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pemerolehan bahasa


C. Uraian Materi
1. Hakikat Bahasa
Menurut Keraf (1984: 16), bahasa adalah alat komunikasi antar-anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Meskipun batasan bahasa yang dikemukakan Keraf ini terlihat sangat sederhana, apa yang menjadi hakikat bahasa dan lambang bunyi suara itu tidaklah serta merta dapat dipahami dan disepakati dengan mudah oleh semua pihak. Untuk mempermudah pemahaman kita mengenai hal tersebut, baiklah kita simak ilustrasi berikut ini.
Bila seorang asing berbicara dalam bahasa yang tidak kita pahami, yang terdengar kepada kita hanyalah bunyi yang berselang-seling yang rumit sekali. Dalam waktu yang relatif lama, barulah bunyi-bunyi tersebut dapat kita bedabedakan. Bunyi-bunyi dan urutannya akan semakin jelas kepada kita karena ia berulang. Apabila kita akhirnya memahami bahasa tersebut, maka tampaklah kepada kita bahwa ada aturan-aturan yang menguasai pemakaian bunyi dan urutan-urutannya itu.
Di dalam bahasa Inggeris, misalnya, tidak terdapat bunyi (ny) seperti yang terdapat di dalam bahasa Indonesia nyinyir atau nyonya. Bunyi (ng) di dalam bahasa asing itu tidak pernah terdapat di awal kata, seperti yang terdapat di dalam kata bahasa Indonesia ngeri, misalnya. Sebaliknya, ada juga urutan-urutan bunyi di dalam bahasa Inggeris, seperti (spl) atau (spr), yang terdapat di dalam kata-kata splash dan spring, yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia.
Di dalam bahasa Inggeris terdapat kata-kata majemuk, seperti flower garden atau bus station, yang kata keduanya merupakan pokok dan kata pertama menjelaskan kata kedua. Di dalam bahasa Indonesia terjadi hal yang sebaliknya. Kata-kata majemuk seperti stasiun bus atau kebun bunga, justru kata-kata pertamanyalah yang menjadi pokok, sedangkan kata kedua menjadi penjelas kata pertama.
Dari contoh-contoh di atas, dan banyak lagi contoh lainnya yang dapat dikemukakan di sini, jelaslah bahwa tiap bahasa memiliki aturan-aturannya sendiri yang menguasai hal-hal bunyi dan urutan-urutanny, hal-hal kata dan susunannya, dan sebagainya. Dapatlah disimpulkan bahwa bahasa itu sesungguhnya adalah kumpulan pola-pola, kumpulan kaidah-kaidah yang kemudian disebut sistem. Jadi, bahasa adalah sistem unsur-unsur dan kaidah-kaidah.
Bila pertama kali kita melihat sebuah benda, dan orang yang memahami benda itu menyebutnya dengan ‘jam’, maka urutan bunyi /j/, /a/, dan /m/ kita asosiasikan dengan benda tersebut. Kemudian, meskipun benda tersebut tidak lagi berada di hadapan kita, bila kita mendengar seseorang mengucapkan urutan bunyi itu, maka kita akan serta-merta mengasosiasikannya dengan benda tersebut. Demikianlah, terjadinya proses asosiasi antara bunyi-bunyi (baik berupa kata maupun kalimat) dengan sesuatu (benda maupun konsep) menunjukkan ketinggian akal budi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Urutan bunyi /j/, /a/, dan /m/ itu, dalam pikiran manusia, ternyata adalah lambang-lambang yang berdiri untuk sesuatu yang lain yang dapat diterangkan sebagai “Sesuatu yang terdiri atas berbagai roda kecil yang digerakkan oleh beberapa per, yang ditempatkan di dalam sebuh kotak besar atau kecil, dan yang fungsinya untuk
menunjukkan waktu.” Seperti diketahui, sesuatu yang berdiri untuk sesuatu yang lain disebut tanda. Dengan demikian jelaslah bahwa bahasa itu sesungguhnya adalah sistem tanda.
Tidak terdapat hubungan logis atau rasional antara bunyi-bunyi bahasa dengan sesuatu yang dilambangkannya. Untuk menjelaskan hal ini, ambillah konsep K sebagai kasus. K adalah binatang berkaki empat, berkuku satu dan banyak dijinakkan untuk keperluan manusia, baik untuk membantunya sebagai binatang poenarik maupun untuk hiburan di dalam pacuan. Orang Indonesia menyebut konsep K ini dengan urutan bunyi [k-u-d-a]; orang Inggeris menyebutnya
[h-o-r-s-e], dan orang Jawa menyebutnya dengan [j-a-r-a-n]. Sekiranya ada hubungan yang rasional atau logis antara bunyi-bunyi dengan bendanya, tentulah tidak akan ada perbedaan urutan bunyi di dalam bahasa-bahasa di dunia ini untuk konsep yang sama, seperti contoh-contoh yang telah diberikan di atas. Jadi jelaslah, tidak ada hubungan yang rasional dan logis antara bunyi-bunyi sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkannya. Dengan kata-kata lain, urutan bunyi dalam satu bahasa bersifat mana suka atau arbitrer. Kecil pula kemungkinan bagi seseorang untuk mengganti urutan bunyi dalam bahasanya untuk sebuah konsep yang sudah ada. Betapa pun diktatornya kekuasaan seseorang di suatu tempat, tidak mungkin baginya mengganti urutan bunyi [k-u-d-a], untuk konsep yang telah dikemukakan di atas, dengan urutan bunyi lain, misalnya menjadi [k-r-a-u]. Jika pun dimungkinkan, maka penggantian urutan bunyi bahasa itu haruslah mendapat persetujuan atau kesepakatan sejumlah besar masyarakat pemakai bahasa. Dari deskripsi di atas dapatlah disimpulkan bahwa urutan-urutan bunyi itu mestilah mencapai sifat konvensional untuk dapat dianggap sebagai kata-kata di dalam bahasa itu. Sifat inilah yang menentukan, baik perubahan arti maupun hidup dan matinya kata-kata dalam satu bahasa dapatlah disimpulkan bahwa dari seluruh paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa hakikat bahasa itu dicirikan oleh empat hal, yakni (1) bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, (2) bahasa adalah sistem tanda, (3) bahasa itu arbitrer/mana suka, dan (4) bahasa bersifat konvensional (lihat Samsuri, 1981: 9-12)


2. Pemerolehan Bahasa
2.1 Konsep Pemerolehan Bahasa
Simanjuntak (1987: 157) mengatakan, proses pemerolehan bahasa adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang kanak-kanak (bayi) sewaktu memperoleh bahasa ibundanya. Ditambahkan Simanjuntak bahwa proses itu berlangsung tanpa disadari oleh kanak-kanak itu sendiri. Kiparsky mengajukan batasan yang lebih kompleks lagi. Menurut Kiparsky (dalam Tarigan, 1985: 243). pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang
digunakan anak-anak untuk menyesuaikan seperangkan hipotesis yang makin bertambah rumit, atau pun teori-teori yang masih terpendam, dengan ucapanucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasrkan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut. Kanak-kanak melihat dengan pandangan yang cerah akan kenyataan-kenyataan bahasa yang dipelajarinya dengan melihat tata bahasa asli orang tuanya, serta pembaharuan-pembaharuan yang telah mereka perbuat, sebagai tata bahasa tunggal. Kemudian, dia menyusun atau membangun suatu tata bahasa yang baru serta yang disederhanakan dengan pembaharuan-pembaharuan yang dibuatnya sendiri.
Berbicara mengenai pemerolehan bahasa, kita tidak dapat melepaskan diri dari berbicara mengenai alat pemerolehan bahasa (language acquisition device atau LAD). LAD merupakan alat hipotetis yang – berdasarkan input data linguistic primer suatu bahasa – menghasilkan output yang terdiri atas tata bahasa yang adekuat secara deskriptif bagi bahasa tersebut. Skema ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Peralatan pemerolehan bahasa haruslah merupakan keberdikarian bahasa (language independent), yaitu mampu memelajari setiap bahasa manusia yang mana saja dan harus menyediakan serta menetapkan suatu batasan pengertian atau gagasan ‘bahasa manusia’ (Chomsky dalam Tarigan, 1985: 244). Ada yang mengatakan bahwa LAD adalah sejenis kotak hitam atau black box di dalam otak manusia.
Dari wacana di atas dapat ditarik simpulan adanya suatu model pemerolehan (acquisition model) bahasa. Yang dimaksud dengan model pemerolehan adalah suatu siasat yang digunakan anak-anak untuk menyusun tata bahasa yang tepat bagi bahasanya – untuk memelajari bahasanya – berdasarkan suatu sampel data linguistik utama yang terbatas.
2.2 Pemerolehan Bahasa Anak
Para ahli umumnya setuju bahwa penelitian mengenaai pemerolehan bahasa kanak-kanak sangat perlu dilakukan dan dikembangkan. Setidaknya, ada tiga alasan penelitian tersebut penting dilakukan, yakni:
(1) bahwa hal itu sendiri memang menarik,
Data linguistik primer
à Sistem LAD àTata bahasa
(2) hasil-hasil dari telaah pemerolehan bahasa dapat memancarkan cahaya terang pada aneka rona masalah pendidikan dan pengobatan, seperti pengobatan afasia, hambatan ujaran, dan perkembangan kognitif,
(3) bahwa selama telaah pemerolehan bahasa dapat memperkuat atau memperlemah kategori-kategori kesemestaan yang telah dipatokkan oleh teori-teori linguistik dengan suatu dasar mentalis secara eksplisit, maka jelas bahwa fenomemna pemerolehan bahasa itu relevan dengan perkembangan toeri linguistik.
Memang banyak linguis dan nonlinguis yang telah mengadakan telaah mengenai pemerolehan bahasa tanpa membuat suatu upaya nyata untuk membatasi serta menetapkan bagimana hasil-hasil telaah mereka dapat diterapkan, dan tanpa keinginan untuk membuktikan sesuatu mengenai hakikat bahasa. Hasil pendekatan yang agak kausal ini merupakan hasil observasi yang sudah pasti cenderung menjadi bersifat anekdot dan karena itu merupakan sifat yang tidak sistematis. Tambahan lagi, kurangnya teori pemerolehan bahasa yang logis yang berarti bahwa mata rantai antara data dengan apa kita sebut sebagai “fakta-fakta” pemerolehan bahasa itu sungguh-sungguh sangat lemah dan kurang mempersatukan. Misalnya adalah: sukar melukiskan -- apalagi menjelaskan faktafakta perkembangan ujaran yang lamban – dengan tepat apa yang wajar.
Sayangnya , kita sulit sekali mengetahui hal-hal yang membangun serta menunjang perkembangan ujaran yang normal. Hal ini sebagian ada sangkut-pautnya dengan kesukaran-kesukaran praktis yang banyak sekali terlibat dalam penelaahan ujaran kanak-kanak, tetapi juga ada kaitannya dengan kenyataan bahwa belum ada teori linguistic yang tersedia yang menyajikan peralatan-peralatan yang cukup terperinci untuk memudahkan atau memungkinkan kita melukiskan fakta-fakta atau mendaftarkannya secara luas mencakup banyak hal.
Walaupun di atas telah dikemukakan pentingnya penelitian terhadap pemerolehan bahasa anak, namun kita tidak dapat menutup mata akan adanya kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi dalam penelitian tersebut. Berikut ini dikemukakan beberapa indikasi atau petunjuk kesulitan-kesulitan praktis dan teoritis yang terlibat dalam penelitian pemerolehan bahasa. Pertama, sukar
meneliti data input, yaitu jumlah dan hakikat ujaran (data linguistic primer) yang harus diungkap oleh anak-anak selama masa dua atau tiga tahun.


Kedua, sulit menelaah data output (ucapan-ucapan yang dihasilkan anak). Biasanya, kita memerlukan sejumlah informasi yang situasional untuk menentukan makna ucapan seorang anak. Misalnya saja, ucpan seorang anak “Ibu air” yang mungkin berarti ‘ibu mengambil air’ atau ‘ibu minum air’, dan sebagainya. Haruskah kita hanya dengan mengatakan bahwa ucapan itu terdiri atas nomina + nomina saja?
Ketiga, sulit menelaah hubungan input – output. Hal ini teutama disebabkan oleh kenyataan bahwa mungkin ada kesenjangan waktu antara apa yang didengar oleh anak-anak dengan apa yang diucapkannya.
Keempat, sungguh sulit menguji kompetensi anak-anak serta memisahkan variabel-variabel performansinya. Bagaimana kita mengetahui bahwa anak-anak sudah membuat suatu kesalahan dari kompetensi yang seharusnya ? Anak-anak merupakan komponen yang sangat sulit diuji.
Pada bagian terdahulu sudah disinggung mengenai model pemerolehan atau acquisition model. Sekarang, kita menelaah apa sajakah yang terlibat dalam konstruksi atau penyusunan model pemerolehan bahasa. Seorang anak yang mampu belajar bahasa haruslah memiliki:
(1) teknik untuk menggambarkan tanda-tanda inpu,
(2) cara menggambarkan informasi structural mengenai tanda-tanda ini,
(3) metode untuk menentukan apa yang dinyatakan secara tidak langsung atau
diimplikasikan oleh setiap hipotesis serupa itu menghenai setiap kalimat,
(4) metode untuk memilih salah satu dari hipotesis-hipotesis yang sesuai dengan data linguistic utama tertentu (Tarigan, 1985: 243-247).
2.3 Teori Pemerolehan Bahasa Anak
Teori pemerolehan bahasa pada anak meliputi teori behaviorisme, nativisme, kognitivisme, dan interaksionisme.
2.3.1 Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dalam hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi (R) yang tepat terhadap rangsangan/stimulus (S). Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika mendapat penguatan (reinforcement). Pada saat ini, anak belajar bahasa pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah
pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila suatu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak akan mendapatkan kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama pada anak.
Berikut ini adalah beberapa prinsip behaviorisme:
(1) Teori belajar behaviorisme ini bersifat empiris, didasarkan pada data yang dapat diamati.
(2) Kaum behavioaris menganggap bahwa (a) proses belajar pada manusia sama dengan proses belajar pada binatang, (b) manusia tidak mempunyai potensi bawaan untuk belajar bahasa, (c) pikiran anak merupakan tabula rasa yang akan diisi dengan asosiasi S-R, (d) semua prilaku
merupakan respon terhadap stimulus dan perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.
(3) Belajar bagi kaum behavioris adalah pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respon yang berulang-ulang sehingga terbentuk kebiasaan. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengondisian.
(4) Pengondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S-R.
(5) Bahasa adalah perilaku manusia yang kompleks di antara perilaku-perilaku lain.
(6) Anak menguasai bahasa melalui peniruan.
(7) Perkembangan bahasa seseorang ditentukan oleh frekuensi dan intensitas latihan yang disodorkan.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement (penguatan) yang cocok,
perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Banyak kritikan diarahkan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan setiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.
Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-respons. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku merupakan respons dari satu stimulus. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa sejumlah orang yang mendapatkan stimulus yang sama tidak serta merta melahirkan respons yang sama. Terdapat variabel-variabel lain yang memengaruhi reaksi atau respons seseorang terhadap satu stimulus.
2.3.2 Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, Binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik). Setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal) dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak
dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui peniruan. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Melayu, sudah dapat dipastikan bahwa bahasa Melayu akan menjadi
bahasa pertamanya.
Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya (Baradja, 1990:33). Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan
bunyi bahasa.
2.3.3 Teori Kognitivisme
Aliran kognitivisme berawal dari pernyataan Jean Piaget (1926) yang berbunyi “Logical thinking underlies both linguistic and nonlinguistic developments.” (Pikiran logis membawahi perkembangan linguistik dan nonlinguistik). Pernyataan ini memancing para ahli psikologi kognitif menerangkan pertumbuhan kemampuan berbahasa. Mereka menilai penjelasan Chomsky tentang hal itu belum memuaskan.
Teori Kognitivisme menjelaskan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223).Hal ini tentu saja berbeda dengan
pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai usia anak 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.
2.3.4 Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan interaksi antara masukan (input) dengan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.
Dalam pemerolehan bahasa pertama, anak sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan, seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-
3). Akan tetapi, yang tidak boleh dilupakan adalah lingkungan yang juga merupakan faktor yang memengaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.
2.4 Jenis-jenis Pemerolehan Bahasa
Darjowidjojo (2003: 244) membagi jenis-jenis pemerolehan bahasa dalam empat tataran, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik, yakni bagaimana anak memeroleh kelayakan dalam berujar. Berikut ini penjelasan tentang berbagai jenis pemerolehan bahasa di atas.
2.4.1 Pemerolehan Fonologi
Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20 % dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena perbedaan inilah, maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Bunyi-bunyi ini belum dapat
dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi ‘dekutan’ (Dardjowidjojo 2012:244). Anak mendekutkan bermacammacam bunyi yang belum jelas identitasnya. Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vocal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi ‘celotehan’. Celotehan dimulai dengan konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/, dengan demikian strukturnya adalah KV.
2.4.2 Pemerolehan Morfologi
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah maknanya karena proses afiksasi (prefiks, sufiks, simulfiks). Misalnya, kata satu dapat berubah menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan, kesatuan, kebersatuan, mempersatukan, dan seterusnya. Zuhdi dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat hapalan.
Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya, anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa adolesen.
2.4.3 Pemerolehan Semantik
Menurut beberapa ahli psikologi perkembangan, kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa (Mc.Neil, 1970, Clark, 1997). Clark secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap. Pertama, tahap penyempitan makna kata. Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1,0 – 1,6). Pada tahap ini, kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang disebut ‘gukguk’ hanyalah anjing yang dipelihara di rumah saja, tidak termasuk yang berada di luar rumah. Kedua, tahap generalisasi berlebihan. Tahap ini berlangsung antara usia satu setengah tahun hingga dua tahun setengah (1,6 – 2,6). Pada tahap ini, anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau ‘gukguk’ adalah semua binatang berkaki empat. Ketiga, tahap medan semantik. Tahap ini berlangsung antara usia dua setengah tahun sampai usia lima tahun (2,6 – 5,0). Pada tahap ini,
kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya, proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit -- setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak.
Umpamanya, kalau pada utamanya, kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, namun setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, harimau maka kata anjing berlaku untuk anjing saja. Kelima, tahap generalisasi. Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini, kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin sempurna ketika usia kanak-kanak itu semakin bertambah. Jadi, ketika berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun, misalnya, mereka telah mengenal apa yang dimaksud dengan hewan.
2.4.4 Pemerolehan Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata atau bagian kata. Kata ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang menjadi pertanyaan adalah: kata mana yang dipilih? Seandainya anak itu bernama Fajri dan yang ingin dia sampaikan adalah Fajri mau makan, apakah dia akan memilih kata jri (untuk Fajri), mau (untuk mau), ataukah kan (untuk makan)? Dari tiga kata pada kalimat Fajri mau makan, yang baru adalah kan. Karena itulah anak
memilih kan, dan bukan jri, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan ujaran satu kata atau USK (one word utterance), anak tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang memberikan informasi baru.
Dari segi sintaktiknya, USK sangatlah sederhana karena memang hanya terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Di samping ciri ini, USK juga mempunyai ciri-ciri yang lain. Pada awalnya, USK hanya terdiri dari KV saja. Bila kata itu KVK, maka K yang kedua dilesapkan. Kata mobil, misalnya, akan disingkat menjadi /bi/. Pada perkembangannya kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada umur 2,0 tahun, misalnya, Echa menamakan ikan sebagai /tan/, persis sama dengan kata bukan.
Pada awal USK juga tidak ada gugus konsonan. Semua gugus yang ada di awal atau akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. Kata putri (untuk Eyang putri) diucapkan oleh Echa mula-mula sebagai Eyang /ti/. Ciri lain dari USK adalah bahwa kata-kata dari kategori sintaktik utama (content words), umumnya nomina, verba, adjektiva, dan mungkin juga adverbia. Tidak ada kata fungsi, seperti dari, atau ke. Di samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini dan kini. Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke masa lalu dan
masa depan. Anak pun juga dapat menyatakan negasi nggak, pengulangan lagi,dan habisnya sesuatu.
Sekitar umur 2,0 tahun, anak mulai mengeluarkan ujaran dua kata atau UDK (Two Word Utterance). Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa lampunya telah menyala. Echa misalnya, bukan mengatakan /lampunala/ “lampu nyala” tapi /lampu // nala/. Jadi, berbeda dengan USK, UDK, secara sintaksis, lebih kompleks tetapi semantiknya makin lebih jelas (Dardjowidjojo, 2003: 265)
2.4.5 Pemerolehan Pragmatik
Jakobson menyatakan bahwa pemerolehan pragmatik anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa, melainkan juga memperoleh tindak berbahasa. Dardjowidjojo (2003: 266) membagi pemerolehan pragmatik dalam dua teori, masing-masing (1) Pemerolehan niat komunikatif dan (2) Pemerolehan kemampuan percakapan. Pada minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat komunikatifnya dengan tersenyum, menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain.
Pemerolehan kemampuan percakapan di tandai dengan struktur percakapan yang terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Bila orang tua menyapanya, atau anak-anak yang menyapa terlebih dahulu, itulah tanda bahwa percakapan akan dimulai. Pada tahap giliran, akan terjadi pemberian respons, dan pada bagian penutup, tidak mustahil pula bahwa pertanyaan tadi tidak terjawab karena anak lalu pergi saja meninggalkan orang tuanya atau beralih ke kegiatan lain.
POSTINGAN TERKAIT
TIPS SUKSES DI PRAKONDISI PLPG 2017 BACA DI SINI
MODUL PEDAGOGIK PERSIAPAN  PRAKONDISI PLPG 2017 UNDUH DI SINI
MODUL LENGKAP PERSIAPAN PRAKONDISI BAHASA INDONESIA UNDUH DI SINI